Aswaja dan Gerak Transformatif



Gerak transformatif Aswaja sebagai metodologi dalam aspek kehidupan
adalah keniscayaan. berpagi-pagi kita menemukan konsep epistimologi islam
sebagai khazanah keilmuan yang sangat beragam metodologi pemikirannya.
Assy-Syahristani
(1086-1158)
menjelaskan dalam magnum-opusnya Al-Milal wa An-Nihal bahwa
muncul keberagaman corak pemikiran tentang agama (Tauhid atau ilmu kalam, Fikih
dan aspek keagamaan yang lain) yang pada akhirnya bermuara pada konsep
metodologis (
manhaji). Jabariah, Qadariah, Mu’tazilah, Aswaja dan Syiah.
Metodologi ini yang paling sering lalu lalang dalam telinga dan gerak penalaran
kita, kadang lentur kadang pula kaku pemahamannya.

Pernahkan anda bertanya, minimal ke dalam diri anda, bahwa apa itu
sebenarnya agama? Apa itu
addin? Apa itu Nashara? Apa itu Islam? Dan apa
itu Yahuzdi atau yahudza? Atau memang tidak pernah kepikiran sama sekali?
Sejauh ini pemahaman cara berpikir terbagi menjadi tiga, agar menjadi ilmu
pengetahuan. Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi. Dengan kata lain kebenaran
akan dinyatakan benar (walaupun akan berjumpa dengan gerak relatif) ketika
memenuhi tiga prinsip di atas. Sehingga untuk menjawab pertanyaan di atas perlu
adanya metodologi, gerak empiris, nalar-kritis dan cara pandang beserta
sudutnya. Hal inilah yang kemudian dimaksud dengan proses
manhaji.

Jika Karl Marx menawarkan konsep sosialisme yang anti
kemapanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka “Islam” pasca Rasulullah
dan Khalifaturrasyidin membuka ruang, cakrawala berpikir yang beragam, untuk
memahami islam dengan sebenar-benarnya. Salah satunya adalah
al-Ahl
as-sunnah wa al-Jamaah
atau kita sering mendengar dengan sebutan Aswaja. Secara
singkat Aswaja adalah rumput metodologis yang lahir dari perpaduan metodologi
yang lain, yaitu
Jabariah dan Mu’tazilah. Dengan kata lain ada
proses
qimmah atau evaluasi untuk mentatwir mengembangkan pola
metodologi keagamaannya (
Manhajiah ad-Diniyah).

Diriwayatkan dalam hadith Shahih bahwa, dari Nabi Muhammad SAW.
Bersabda: “Sesungguhnya umatku (kelak) akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, dan hanya satu yang benar-benar mengikuti sunnahku dan para sahabat.”
Tujuh puluh tiga golongan ini ditafsirkan dengan berbagai pendekatan, yaitu
pendekatan
  fiqhyah, aqaid al kalam,
al hadith, assy’ri
. Lingkup sejarah menjelaskan ada pertautan antara al
milal wa annihal karya Sahristani dan ja’far subhani salah satunya, ia menolak
pandangan sahristani terkait penilaiannya terhadap syiah dalam konteks
Tanassuk,
hulul dan Tasybih.
Dengan kata lain pendekatan terhadap hadith nabi di atas
memiliki beragam sudut pandang, sehingga fakta yang muncul hari ini lebih dari
73 golongan. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita “warga pergerakan” menyaring
dan memfilterisasi pemahaman atas golongan atau kelompok yang sudah
diriwayatkan oleh nabi melalui hadith tersebut?

Dalam hal ini ada korespodensi antara sikap sadar bahwa melakukan
pembenaran atas golongannya sendiri, atau meraba secara empiris maupun dialogis
perihal golongan mana yang terbaik dan dibenarkan dalam konteks syariat maupun
kemanusiaan (Hal ini sejalan dengan mengapa nabi diutus menjadi rasul, tidak
lain dan tidak bukan hanya untuk menyempurnakan moral etika manusia). Tawaran
saya adalah bagaimana jika kita melihat dari golongan terdekat dengan sahabat nabi,
atau pasca khalifah?

Beberapa sebab munculnya golongan-golongan tersebut adalah,
tendensi atas kepartian, atau fanatisme kesukuan, kesalah pahaman dan
pemutarbalikan tentang pembatasan hakikat agama, dan lahirnya golongan murjiah,
khawarij dan lain sebagainya, larangan penulisan hadits rasulullah. Namun
beberapa alasan di atas dibantah oleh peneliti hadith yakni Prof. Dr. MM. Azami
yang dengan sangat teloti menjelaskan bahwa kedudukan sunnah sangatlah beragam
bahkan menjadi penjelas dari Kitabullah yang menyimpan berbagai rahasia atau
kode-kode kejadian yang akan datang. Begitu juga terkait adanya hadith yang
diriwayatkan dari Anas bin Malik RA di atas.

Ahlussunah wa al jamaah yang secara terminologi disebut dengan aswaja
adalah salah satu dari beberapa firqah atau golongan yang sudah disinggung di
atas. Ungkapan
ma ‘ana alaihi wa ashaby menjadi dasar dari prinsip dan
lahirnya peta konsep aswaja. Secara singkap berarti pemeluk atau pengikut jalan
nabi dan sahabat. Jika syiah yang secara terang-terangan menyinggung perihal
sahabat nabi kecuali Imam Ali KW (
karamallahu wajhah) hanya sebagai
pelengkap perjuangan, karena jika saja posisi Nabi masih ada setelah Nabi
Muhammad maka Imam Ali adalah nabi terahir, ini menurut syiah, tetapi ada
hadits yang menyebutkan bahwa
ashaby kaannujumi biayyihim iqtadaytum (fa)
ihtadaytum
, para sahabatku seperti bintang- gumintang di langit, yang –
jika kalian mengikutinya maka akan mendapat petunjuk. Namun al jamaah dalam
aswaja memiliki beragam versi makna di antaranya: bersatu, bersama-sama, atau
mereka para pendahulu yaitu para sahabat nabi, tabi’in, tabiin at tabiin, para
wali jika di Indonesia dikenal dengan gerakan wali songo yang disebutkan dalam
Atlas Wali Sanga mengalami beberapa fase dan waktu yang mengindikasikan bahwa
wali songo adalah bentuk dari organisasi para ulama’ sunni yang memiliki
kaderisasi militan di dalamnya.

Istilah Aswaja atau lebih tepatnya Ahlussunah wa al Jamaah dikenal
sejak masa pemerintahan
Khulafa’arrasyidin, yang kemudian dilanjutkan
pada era Bani Umayyah (612-751 M), secara hirarki dikenalkan pada masa Abu
Ja’far al Mansur (754-775 M) dan Harun ar Rasyid (775-807M), Kemudian dilanjut
setelah perebutan kekuasaan dari tangan Umayyah oleh dinasti Abbasiah (±1258M)
pada masa Khalifah al Ma’mun (811-836M). Dinamika politik yang ditandai dengan
gerakan ekpansif menjadi salah satu jalan dan pengenalan gerakan dialogis ilmu
kalam yang disebut ahlussunah waljamaah atau aswaja.

Keunikan aswaja adalah ketika gerakan aswaja mulai mengerucut pada
dua tokoh yang memiliki peran dalam perkembangan aswaja sendiri. Abu Hasan al
Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi. Keduanya adalah murid dari Imam al Juba’i
yang saat itu menjadi tokoh atau mursyid firqah Mu’tazilah.

Abu Hasan al Asy’ari (875-935M) adalah yatim dari sahabat Zakaria
bin Yahya as-Saji, tokoh Mu’tazilah. Pada tahun 890-an Masehi Abu Hasan
mencanangkan aswaja sebagai gerakan keagamaan, dan keluar dari Mu’tazilah,
dengan alasan bahwa perdebatan antara dirinya dengan Gurunya perihal si ingkar
akan masuk neraka dan si shaleh masuk surga, dan bagaimana dengan anak kecil
yang mati dan tanpa beramal apa-apa? Gurunya menjawab bahwa ada ruang di antara
surga dan neraka,
baina al manzilatayni. Pun ada keterangan yang
mengatakan bahwa ia bermimpi dengan nabi sebanyak 3 kali di bulan ramadhan. Di
mana ia diperingatkan agar segera keluar dari Mu’tazilah. Gerakan Asyariah
bermadzhabkan syafi’i yang kebanyakan berada di Bashrah atau Iraq hari ini.

Sedangkan Maturidi ada dua, Maturidi Samarkand dan Maturidi
Bukhara. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Abu Mansyur al Maturidi as
Samarkand. Lahir di kota kecil Samarkan, Trmsoxiana Uzbekistan. Negara di
antara asia tengah dan Eropa Timur, lebih dekat dengan Uni Soviet atau Rusia
hari ini dan dekat dengan Persia atau Turki. Al Maturidi (w. 945 M) merupakan
pengikut setia Abu Hanifah, ia belajar Hadith dan Sunnah kepadanya. Ia juga
sangat ketat dengan ilmu mantiq atau logika.

Sedangkan Maturidi Bukhara adalah tokoh yang bernama Al Bazdawi
(1010 M) memiliki nama lengkap Ali bin Abi Muhammad bin Husain bin abd Karim
bin Musa bin Isa bin Mujahis al Bazdawi.

Doktrin Asyariah dan Maturidiah memiliki sisi sosial yang ketat, di
antaranya: Tuhan dan Sifat-sifatnya, Kebebasan dalam berkehendak, akal dan
wahyu dan kriteria baik buru, al quran Qadim, Melihat Allah, keadilan,
kedudukan orang berdosa. Doktirn maturidiah di antaranya adalah, akal dan
wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan,
kalam Tuhan, melihat Tuhan, perbuatan manusia, pengutusan rasul, dan pelaku
dosa besar. Hal ini menjadi konsentrasi tersendiri atas berbagai hal yang
bersifat dialogis di golongan-golongan yang lain, seperti syiah, murjiah,
mu’tazilah, jabariah, qadariah dan lain sebagainya.

     Baca Juga : Masayih Tariqah

Namun Mbah Hasyim Asy’ary menegaskan bahwa NU yang berhaluan
ahlussunah wa al jamaah adalah yang mengikuti Abu Hasan al Asy’ari dan Abu
Mansur all Maturidi dalam konteks teologi, sedangkan dalam fikih memilih di
antara empat madzhab (Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Hanafi), dalam konteks
Hadist mengikuti enam tokoh ulama’ hadist yang terangkum dalam
kutub assita
(Imam Buhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Atirmidzi, an Nasa’i dan Ibnu Majah),
sedangkan dalam konteks tasawwuf mengikuti Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al Gazhali, dan Imam Junaidi al Baghdadi.
   

Komentar