Dikisahkan bahwa ada seorang raja yang lalim di Turkiztan. Cerita ini sangat masyhur. Pertemuannya dengan Nabi Khidir diawali dengan sayembara. Di mana siapapun yang mampu mempertemukannya dengan Khidir maka ia akan memberi seseorang itu emas sebanyak tiga karung ditambah berlian. Siapa yang tidak tertarik? Tentu hadiah itu sangat menggiurkan, bahkan menjadi sangat menawan siapapun.
Sampai suatu ketika berita itu terdengar ke pelosok Negeri tersebut. Ada seorang dari keluarga miskin yang sudah menyiapkan rencana dan menerima konsekuensi dari apa yang akan dilakukannya. Ia menemui sang Raja dan menghaturkan apa yang menjadi rencananya. “Aku akan mempertemukanmu dengan Khidir, tetapi penuhi dulu syarat pertamaku!” ucap sang miskin. “katakan saja apa syarat itu?” Pinta Raja.
“Berikan aku dan keluargaku sekarung emas pertama, dan akan aku penuhi janjiku; yaitu mempertemukanmu dengan Khidir.” Tawaran sang miskin. Walaupun ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu mempertemukannya dengan Khidir. Tetapi bagaimana lagi, hal itu ia lakukan demi mengangkat derajat keluarganya. Tetapi berbeda dengan sang raja yang kadung karep ingin berjumpa dengan Khidir.
Sampai suatu ketika, tepat di hari ke 40. Sang Miskin yang bernama Baba itu berkata “sejujurnya kepada raja, bahwa seberapa banyak harta dan kesombonganmu tiada akan pernah mampu mendatangkan Khidir, karena ia hanya ingin menemui siapapun yang ia kehendaki, dan tentu bukan karena hartanya.”
“Bangsat...... kamu sengaja mempermainkan raja. Tiada ampun untukmu, kecuali hukuman mati.” Kata sang Raja.
“Akan aku terima, karena bagiku, kewajibanku atas keluarga sudah aku upayakan. Pun upaya mengingatkanmu agar tiada lagi bersikap lalim.” Tegar sang Baba.
Kemudian raja memanggil wazirnya dan meminta hukuman apa yang pantas untuk Baba yang terlah berani kepadanya. Wazir pertama mengatakan bahwa ia harus dipanggang, sedang yang kedua mengatakan bahwa ia harus dicincang, dan yang ketiga adalah dengan diangkat dari kemiskinanannya, karena ia melakukan itu karena keadaan.
Sampai akhirnya datang sang darwis yang menyita perhatian semua yang hadir di istana, bahkan tiada seorangpun yang mengenalinya. Ia berkata “Hai raja, tiadakah engkau berpikir untuk menghukumi Baba ini, wazir pertamamu adalah seorang penjual daging panggang, jadi wajar ketika ia memberi hukuman dari pengalamannya, sedangkan wazir keduamu memerintahkanmu agar menghukum dengan cara mencincang, karena wazirmu dulunya adalah seorang penjagal sapi, sedangkan wazirmu yang ketiga adalah seorang yang berpengetahuan dan berilmu luas, maka layak jika ia menghukumi dengan melihat akar masalahnya.”
“Aku datang menemui karena ketulusan dan keberpihakan Baba kepada keluarganya, jadi aku menemuimu karena aku melihat Baba, bukan dirimu.” Imbuh darwis tersebut, sembari kemudian hilang sekejap mata. Setelah kejadian itu, Wazir satu dan dua dipecat, sedangkan Baba mendapatkan kecukupan dari sang raja.
Artinya, peran sosial cukup mempengaruhi atas kelanggengan keimanan dan keyakinan terhadap Tuhan. Pun terhadapat kekasihNya. Memenuhi hak dan kewajiban pun menjadi tanda atas keimanan seseorang. Bukan harta atau siapa yang ada di sekitarnya. Melainkan dirinya mampu mengambil hibrah atau pelajaran dari apa yang ia lihat, ia tangkap dan ia pehami kemudian.
Tidak sedikit yang kemudian rela mengatas namakan agama lalu meminta-minta, mengemis di mana-mana. Bahkan rela menjual agamanya sendiri. Harta yang ia miliki menjadi pijakan agar ia berada di atas siapapun, melampaui kesejajaran pun melupakan kendali yang diwanti-wantikan oleh Tuhan.
Kehidupan sosial adalah kehidupan yang bersisi pembauran-pembauran baik kultur maupun pandangan-pandangan. Tidak jarang yang kemudian menjadi superior pun kadang biasa-biasa saja. Dengan demikian membangun hubungan yang harmonis dengan Tuhan bukan hanya melalui satu sudut pandang, Melainkan dengan beragam aspek, khususnya aspek sosial.
Tiada dikatakan iman seseorang jika belum memperhatikan dan peduli kepada tetangganya. Hadits ini sangat mafhum di telinga masyarakat. Artinya ada sebuah piranti untuk meneguhkan keimanan kita kepada Tuhan, melalui ruang-ruang sosial. Ruang yang unik, yang beragam dan penuh dengan warna. Artinya ada beragam moral etika yang perlu dipahami dan dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial, di mana keberpihakan itulah yang kemudian menjadi jalan menuju peneguhkan keimanan kita kepada Tuhan.
Di samping perintah untuk saling memahami satu sama lain, tentu peran sosial akan memunculkan kemanfaatan-kemanfaatan bagi siapapun. Dari sana kebersamaan dan keharmonisan saling mengisi satu sama lain menjadi jembatan atas keberlangsungan hidup. Begitulah mamayu hayuning bawana, manunggaling kawula lan gusti.[]
Komentar
Posting Komentar