Banting Kethu, simbol adu argumen dalam tradisi jawa

 

Sumber: Greatmind



Dalam dunia pesantren agaknya tidak asing istilah “jidal” atau debat. Adu argument. Agaknya hal ini menjadi warna pada ruang-ruang akademik. Salah satu sebutannya adalah kemegahan intelektual. Saling bantah, saling sanggah, memperkuat argument antara satu dengan lainnya. Kebenaran menjadi orientasi dari sebuah adu argument.

Logika menjadi sebuah perangkat dalam ruang dialektika tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh ragam dalil. Di satu sisi dibutuhkan, di sisi yang lain menjadi sebuah siasat yang ruang lingkupnya cukup pada sisi personal semata. Kesejarahan islam pun ketimuran juga diwarnai oleh dinamika-dinamika dialektik. 

Dalam konteks perdebatan antara dua nabi yaitu Nabi Daud dan Nabi Sulaiman (QS. Al-Anbiya’: 77) adalah wujud sebuah keragaman pola pikir. Akan berbeda pandangan hukum islam dari aspek tempat di mana seorang imam atau ulama’ yang tinggal di daerah yang satu dengan yang lainnya. Imam Syafi’I misalnya, akan berbeda dengan Imam Hambali, dari keduanya kita dapat melihat sebuah keragaman berpikir karena satu tinggal di Mesir, yang satunya di Madinah. 

Artinya perdebatan itu muncul karena keragaman corak berpikir. Hal ini tidak hanya dalam konteks agama, pun sosial. Walaupun jika digaris bawahi keberagaman adalah satu hal yang natural, bukan untuk dicari kebenarannya. Akan tetepi kebanyakan dari kita beranggapan bahwa untuk masalah ilmu pengetahuan dan akidah maka debat diperbolehkan. 

Dalam ruang sosial jawa dikenal istilah “Banthing Kethu” kethu dalam arti Indonesia adalah songkok. Jika seseorang akan bertemu dan adu argument, sedangkan seseorang lainnya tahu kelemahan lawannya maka yang muncul adalah sikap meremehkan, tentu diawali dengan basa-basi debat kusir. Tentu kita tahu dewasa ini muncul ragam perdebatan di stasiun-stasiun TV, you tube dlsb. Artinya adu argument adalah sebuah tradisi baik intelektual ataupun di luar itu yang mengakar di dalam watak setiap manusia. 

Mempertahankan argument menjadi salah satu alasan adanya perdebatan. Mencari kebenaran, bahkan menjadi ajang kompetisi debat ilmiah atau debat kandidat. Jauh dari pada itu ada sebuah nilai yang membatasi manusia untuk lebih menghargai dan menghormati manusia lainnya. Dalam Kitab Suci misalnya dituturkan bahwa untuk mencari kebenaran selain jidal ada wa sawwirhum bil ma’ruf, musyawarahlah dengan bijak. Tentu hasil akhirnya adalah mufakat. 

Seperti kasus korona yang sampai pada penemuan vaksin. Tidak sedikit yang kontra produktif. Di lain sisi mendukung upaya pemerintah untuk melakukan vaksinasi sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran virus. Tetapi di sisi lain menolak vaksinasi dengan ragam fakta akibat vaksinasi tersebut, walaupun itu belum tentu benar adanya. Lantas apakah hal ini akan berhenti di meja perdebatan? Tentu tidak. Atau bapak/ibu pemegang kebijakan akan Banting Kethu, karena menganggap bahwa yang mendebat adalah mereka yang tidak terjun langsung ke lapangan? Tentu hal ini perlu dipertimbangkan kembali. 

Sehingga yang menjadi jalan tengahnya adalah musyawarah. Mempertimbangkan aspek maslahahnya. Menerima sesuatu yang ada di luar diri kita adalah sikap yang sukar, perlu ada pembiasaan, pengertian, penghormatan dlsb. Tetapi menolak tanpa dasar adalah sikap pecundang. Oleh karenanya sikap moderat itu penting.

Banting kethu menjadi simbol ketidak moderatan. Meremehkan pihak di luar bentuk kesepakatan atau yang berbeda. Sikap inilah yang menjadi simbol bagi masyarakat tutur tinular jawa untuk mengurai sikap-sikap yang muncul dalam setiap perubahan sosial. Debat kusir, adu argument, menguatkan pendapat, adalah sebentuk eksistensi yang tidak jarang dikejar – penuhi oleh setiap orang. 

Sikap wajar seharusnya musyawarah, tetapi luput dari itu semua, manusia memiliki kecenderungan eksistensialisme yang kuat. Tidak hanya sikap simbolis  banting kethu, tetapi masih banyak lagi yang lain, yang pastinya menguatkan eksistensi dirinya, 

Komentar