Bahagia Ala Imam Ghazali

Randugati.com - Dalam tradisi keilmuan dan spiritualitas islam kita mengenal Imam Al-Ghazali tidak hanya sebagai ulama’ dalam satu bidang pengetahuan saja, melainkan dalam ragam pendekatan dan relasi keilmuan yang lainnya, salah satunya adalah tauhid, filsafat dan tasawuf. 

Ragam karyanya menjadi kajian di majlis-majlis keilmuan dan pesantren-presantren. Salah satu karya monumentalnya adalah Ikhya’ Ulumuddin. Yang mana dalam kitab tersebut terhimpun hampir semua pengetahuan baik agama, sosial dan theosofi. 

Yang menjadi menarik adalah, Imam Al-Ghazali adalah ilmuan yang dikenal dalam berbagai bidang pengetahuan, akan tetapi beliau juga motivator ulung dalam membentuk diri dan membangun – kembangkan personalitas. Salah satu kitabnya adalah kimiya’ Assa’adah. Yang mena membahas tentang kebahagiaan dan menejemen hati agar tidak mudah bersedih dan mengurung diri. 

Sumber Gambar: Pixabay

Siapa yang tidak pernah merasa sedih, dan siapa yang tidak ingin bahagia? Hal ini berlaku bagi siapapun saja. Karena kalau kita ingat kisah tentang Nabi Adam dan Ibu Hawa, maka beliau berdua diuji oleh kerinduan yang menyesakkan dadanya, sehingga ketika berjumpa bahagianya tiada tara. 

 

Hal ini juga disinggung oleh Imam Ghazali, bahwa agar selalu bahagia dan memiliki rasa yang peka untuk tidak mudah bersedih, maka ada beberapa pengetahuan dan cara yang beliau sodorkan kepada kita semua. Di antaranya adalah: 


Menyadari segala sesuatu hanya milik Allah


Menyadari bahwa apapun yang ada di muka bumi ini pasti ada yang menggerakkannya. Yaitu Tuhan, bahwa apapun itu diciptakan olehNya dan akan kembali kepadaNya. 

 

اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ


Artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kami kembali (QS. Al-Baqarah [2]: 156).


Menurut Imam Al-Ghazali, jalan menuju kebahagiaan adalah dengan kembali dari dunia ini menuju kepada Allah. Dengan artian bahwa menyerahkan segala urusan apapun, kondisi apapun baik itu sedih, sengsara, kesusahan dan lain sebagainya yang menurut kita adalah ketidak bahagiaan, kita serahkan dan sandarkan kepada Tuhan.

 

Mengenal Tuhan dan Mengenali Diri Sendiri


Imam Al-Ghazali menuturkan jalan untuk mengenal Tuhan adalah dengan mengenal diri sendiri terlebih dulu, sebagaimana sebuah ungkapan Arab menyatakan:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ


Artinya: Siapa yang mengenal dirinya sendiri maka telah mengenal Tuhannya.


Mengenali diri sendiri adalah satu kondisi di mana seseorang harus benar-benar membuang keakuannya. Membuang segala rasa kepemilikannya. Karena semakin kita merasa memiliki, ketika apa yang kita miliki hilang, maka kesedihan akan muncul. Padahal apa yang kita miliki adalah kepunyaan Tuhan. 


Oleh sebab itu, untuk megenali diri sendiri, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menarik ego untuk memiliki apapun. 

 

Menguasai nafsu dan amarah


Menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mengenali diri menggunakan akal saja tidak akan cukup. Kita juga  harus mengandalkan hati. Imam Al-Ghazali menganalogikan hati sebagai raja dan akal sebagai perdana menterinya.


Keduanya bekerja untuk mengendalikan dua pasukan dalam diri, yaitu nafsu dan amarah, dua hal yang juga dimiliki hewan. Jika manusia hanya memakai nafsu dan amarah, maka ia tidak ada bedanya dengan hewan.


Kebahagiaan hewani dihasilkan melalui kenikmatan-kenikmatan yang dituntut oleh nafsu mereka: nafsu makan dan seksual. Manusia yang hanya mencari kebahagiaan pada urusan perut dan kemaluan, sejatinya hanya mendapat kebahagiaan semu. Sebab kebahagiaan manusia yang hakiki berasal dari hati.


Untuk mencapai kebahagiaan sejati itu, manusia tidak harus menghapus seluruh nafsu dan amarah, tetapi harus mengendalikannya. Kuncinya ada pada keseimbangan keduanya. 


Jika porsi nafsu berlebih, maka akan muncul kefasikan. Sebaliknya, jika kekurangan maka yang terjadi adalah kelumpuhan dan kelesuan.


Sedangkan amarah yang berlebih akan menghasilkan kekerasan, dan jika kurang akan menghilangkan semangat membela dalam agama dan hak-hak duniawi.


Keseimbangan hidup dalam mengendalikan amarah dan nafsu inilah yang Allah harapkan dari kebahagiaan hamba-Nya, sesuai dengan firman-Nya:


وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ


Artinya: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (QS. Al-Qasas [28]: 77).


Mencari kebahagiaan dari hati


Makan dan minum setelah merasa lapar mungkin membahagiakan. Begitu juga tidur dan istirahat setelah seharian bekerja, bertemu dengan anak istri di rumah, membeli barang-barang mewah, dan sebagainya. Namun rasa lapar akan kembali, lelah akan datang lagi, dan waktu akan memisahkan seseorang dengan orang yang ia cintai.


Lalu apakah kebahagiaan hanya sementara saja? Menurut Imam Al-Ghazali, kebahagiaan yang sempurna tidak akan lekang oleh waktu. Dan kebahagiaan seperti itu hanya datang dari hati.


Kebahagiaan hati berasal dari makrifatullah atau mengenal Allah. Sebagaimana seorang rakyat jelata bahagia setelah mengenal rajanya, bagaimana mungkin seorang hamba tidak bahagia ketika mengenal Tuhannya?

Komentar