Iswaya.my.id - Weruh ing grubyuk, ora weruh ing rembug, sebuah sanepan atau metafor peribahasa jawa yang sejatinya memperlihatkan kondisi personal atau kelompok sekalipun, baik dalam ruang-ruang publik maupun privat. Dalam istilah yang lain dikatakan bahwa kita manusia jangan mudah nggumunan, gawokan, mudah takjub entah pada capaian, popularitas, budaya pop, dan lain sebagainya.
Hari ini kita dihadapkan pada masa digital, sosial media menjadi ruang komunikasi yang tidak terfilter. Ukurannya adalah like dan dislike, suka dan tidak suka, menarik dan membosankan, capaiannya adalah for your page (FYP). Kalau saja ruang digital itu dianalogikan sebagai pisau, maka fungsinya akan tergantung pada pemegang pisau tersebut. Oleh karenanya "viral" menjadi ukuran responsibilitas dan ketanggapan seseorang.
Artinya, kepekaan yang dituntut senantiasa ada dalam diri manusia sedikit banyak hari ini dipengaruhi oleh FYP dan viralnya sebuah peristiwa. Ini tentu akan menjadi pola dalam semua bidang sosial, pendidikan, agama, seni dan tradisi, hukum bahkan pada ruang-ruang eksistensi lainnya.
Baik dan buruk bukan lagi tolak ukur dalam ruang yang katanya "publik". Akhirnya relativitas itu dapat ditentukan oleh algoritma dan apa-apa yang sering dilihat dan dicari di mesin pencarian, sosmed, pun platform yang lain. Tantangannya adalah dapat bersikap bijak atau tidak dengan perkembangan ini?
Kita bisa mengambil permisalan dalam sebuah peran dan laku sosial, organisasi ataupun sejenisnya. Visi dan misi tentu harus ada sebagai penjaga jalan, agar tetap pada rute yang sesuai. Serta program dan strategi yang tertimeline untuk menentukan langkah dan pengambilan keputusan. Sederhananya, untuk mengatasi kelaparan maka bukan hanya bekerja lalu mendapatkan uang dan membeli makanan, tetapi juga melihat berbagai potensi dan kelemahan agar bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan.
![]() |
Mesem Cafe 6/07/2025 Dok.Pri |
![]() |
Mesem Cafe 6/07/2025 Dok.Pri |
Masalahnya adalah kondisi yang dialami sedang lapar, tapi pola untuk mengatasi lapar langkah yang dipilih justru untuk mengatasi rasa haus. Sepertihalnya membuat galengan, gundukan untuk media tanam, tapi menggunakan sabit, padahal yang dibutuhkan adalah cangkul.
Artinya ketersesuaian antara kebutuhan dan strategi yang diambil tidak tepat, bisa memang, tapi tidak maksimal, akan banyak hal yang dirugikan. Empan papan, tepa slira, sudah tidak digunakan oleh kebanyakan. Karena yang terpenting adalah mengejar FYP dan keviralan.
Dalam proses belajar juga demikian, sinahu bareng seharusnya menjadi pilihan dalam pola belajar, bukan datang seperti paling tahu akan kebutuhan dan kondisi yang terjadi. Pemetaan bukan sebatas pada pemetaan apa yang dibutuhkan, melainkan juga pemetaan pada diri sendiri. Karena setiap ruang baik personal maupun komunal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan.
Sedangkan pola pikir dari setiap orang dan setiap wilayah sangatlah beragam. Sehingga butuh lingkaran untuk duduk bersama mempertemukan keberagaman itu, lalu menarik garis tengah sebagai titik temu atas keberagaman yang ada. FYP ataupun Viral adalah dampak dari sebuah pergerakan, eksistensi itu adalah dampak dan bukan hal yang dibuat, jika demikian tidak ada beda dengan produk komoditas, produk pasar yang senantiasa membutuhkan "branding" untuk menunjang delusi eksistensinya.
Dengan sinahu bareng itulah muncul kondisi untuk saling menghargai perbedaan, yang selama ini hanya berhenti pada ceremonial dan formalitas belaka. Begitu juga dengan berbagai aspirasi, pelatihan, sarasehan, atau apapun. Kadang juga sebatas adu argumen dengan teori yang menjulang tinggi seperti menara gading, namun kerap lupa tangga untuk turun ke bumi. Kalau perkembangan teknologi, digital dan sejenisnya adalah produk pengetahuan, bukankah pengetahuan itu dampaknya harus membumi sehingga dapat membangun kesadaran, potensi, wadah eksplorasi yang tidak terbatas.
Sayangnya, rejeki perkembangan digital hanya dimanfaatkan untuk ruang-ruang FYP dan keviralan. Popularitas justru menjadi tujuan akhir yang tak berkelanjutan. Apapun pola dan kreativitas yang dilakukan, jika sebatas popularitas dan tidak terukur media dan keberlanjutannya maka sama saja dengan weruh ing grubyuk, ora weruh ing rembuh, sepi ing gawe, rame ing pamrih.
Memang berat proses belajar itu, dari yang non formal pun yang formal. Karena belajar memang tidak ada batasnya. Jebakannya adalah ketika sudah merasa tidak butuh belajar dan merasa bisa. Merasa lebih mumpuni ketimbang liyan. Padahal semua manusia memiliki jiwa yang merdeka, siapapun berhak untuk mengutarakan gagasan dan idenya.
Artinya, setiap proses belajar, sinahu bareng, seperti halnya menyeberangi sungai yang dangkal, melipat celana dan sarung agar tidak basah, tapi justru terkena cipratan dan kecipak kaki yang selangkah demi langkah menyusuri aliran sungai. Kenapa tidak sekalian melepas sarung agar merdeka? malu? atau enggan karena tidak lagi tampak indah tanpa sarung atau celana? agaknya ini yang menjadi persoalan kemelekatan.
Tidak rela jika dalam proses belajar dianggap gagal, tidak rela jika dalam perjalanannya harus bertemu dengan lobang-lobang, maunya mulus terus, nikmat terus, enak terus. Padahal setiap jalan tidak senantiasa lurus, kadang butuh belok juga, butuh ngegas dan ngerem juga.
Kalau ingat ngaji Gus Baha, memang benar manusia itu sudah punya watak kikir sejak awal, potensi untuk ikhlas sepenuhnya demi orang lain jarang bahkan tidak dapat dijumpai, manusia hanya memilih kesenangannya dan kesepahamannya untuk berjalan, bukan karena peduli, peka ataupun berpihak.
Guyonan Jawa yang kerap kita dengar yen watuk isa ditambani, tapi watek hurung karuan mesti.[]
Komentar
Posting Komentar