Iswaya.my.id - Pelajaran yang paling berat adalah bersyukur, dan sebagai manusia paut kiranya untuk mengupayakan. Bukan sebatas bentuk terima kasih, tetapi juga sebagai jalinan komunikasi antar kosmos, dan Sang Pencipta itu sendiri.
Inilah
yang sedang diupayakan oleh seluruh warga Desa Pojok Dampit Kabupaten Malang,
dalam rangka “grebek sura” tahun ini (3/07/2025). Sejak dua hari lalu
semua sibuk mempersiapkan asahan sekul tumpeng ulam sari, uba rampĂȘ, dan
rangkaian ritus upaya sukur atas nikmat gemah ripah loh ginawi yang
berupa kebersamaan, pertanian dengan hasil melimpah, serta ketentraman
keluarga-keluarga warga desa pada umumnya.
Bukan
pada Wangsa Suranya, tetapi lebih pada rasa kebersamaan yang terjalin, terajut,
saling mengisi antar sesama. Ndilalah, di Pojok tidak hanya warga muslim
saja, tetapi berdampingan dengan warga agama yang lain Kristen Jawi Wetan yang sami
tumpek abrek dalam gelaran grebek sura.
Peristiwa
ini menandakan bahwa kerukunan juga bentuk pengupayaan rasa syukur pada Sang
Gusti, karena atas nikmat yang Ia berikan berupa kesehatan, hasil bumi dan
jalinan asah, asih, asuh sesama warga Pojok. Hubungan yang terjalin
dengan ditandai tumpeng, uba rampe, dan segala pernak-pernik tradisi
luhur yang masih terjaga, menandakan bahwa segitiga cinta itu senantiasa
terjalin mesra, hubungan kausalitas manusia dan alam, manusia dengan
Penciptanya, dan alam yang senantiasa menyediakan ragam hajat penghuninya.
Kebanyakan, masyrakat Desa Pojok adalah petani, selebihnya beragam. Sehingga rasa syukur yang diupayakan adalah selametan. Wujud dari tema yang diangkat oleh pemerintah desa bahwa grebek sura tahun ini menjadi titik balik dari “nyawiji anggayuh lestari”. Di samping juga mendoakan para leluhur, papunden, danhyangan, dan segenap masyarakat pendahulu. Salah satu nama leluhur yang muncul adalah “Raden Bagus Joko Towo”.
Raden
Bagus Joko Towo, bukan semata nama dan pengingat, ia menjadi jembatan
nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun temurun, sehingga warga Desa
Pojok saat ini dapat menikmati hasil dan jerih payah babat tanah di masa silam.
Tentu jalinan komunikasi antar manusia dan alam yang menjadi garis besarnya.
Dari
sesepuh, pemerintah desa, camat Dampit, Muspika sampai anak-anak tumpek
abrek di Punden yang terletak di belakang gereja RT.03, di tengah hamparan
sawah yang meraya tetumbuhannya, tumpeng-tumpeng dari 13 RT diikrarkan sebagai
bentuk hasil bumi dan rasa syukur para warga. Sungai yang senantiasa
mengalirkan air jernihnya, hembusan angin yang tidak pernah berhenti memberikan
kesejukan dan menyelinah di rimbunnya dedaunan beringin menjadi bentuk relasi
alam semesta yang tidak boleh diacuhkan.
Harapan
dan doa mengalun dari Bapa Dukun dan para ulama yang hadir, lalu diaminkan oleh
semua warga dengan keyakinan masing-masing. Dengan mempererat jalinan itulah
harapan bukan menjadi delusi, melainkan menjadi pola pikir, menjadi budaya,
menjadi akhlak, menjadi proses kesinambungan, saling menjaga satu sama lain.
Ucap
syukur, langkah syukur dan praktiknya menjadi modal menjaga kesalingan dan
kesinambungan itu. Bukankan dalam setiap agama menjaga kelestarian alam adalah
keharusan. Ritus dan tradisi yang dilakukan oleh warga Pojok hari ini adalah
sebagian dari upaya itu.
Karena
sudah makan dari hasil buminya, minum dari sumber mata airnya, sejuk dari
hembusan anginnya, lantas apakah tidak gusar jika sama sekali tidak berterima
kasih. Tentu kepada Sang Gusti, tapi lantarannya adalah ritus dan tradisi,
sebagai wujud dari budaya manusia. Wujud dari pelampahan raos
yang dimiliki oleh setiap manusia, tak luput warga Desa Pojok Dampit Malang.
Adalah
kebahagiaan ketika semua warga menjumpai gemah ripah, gotong royong,
saling nyengkuyung, dan tidak udur-uduran. Di samping ritus dan
tradisi yang senantiasa dijaga, kerukunan juga menjadi tanda upaya bersyukur
kepada Sang Gusti.
Pepatah
jawa menegaskan bahwa “aja nganti kriwikan dadi grajakan, gedhang rubuh sak
oyot”, jangan sampai alam yang gemah ripah ini justru rusak karena
eksploitasi-eksploitasi kecil, yang kemudian menggunung, kebijakan yang diambil
tidak sarujuk dan senafas dengan kemaslahatan, serta mengenyampingkan hubungan
alam dan manusia yang secara langsung terjadi.
Dari
tradisi, ritus, komunikasi sosial, dan berbagai kreativitas sosial, kita tahu
bahwa keluhuran itu seperti halnya ilmu yang kelakone kanti laku, lekase
lawan kas, teggese kas nyantosani setyo budi pangekese dur angkara.
Pengetahuan, budi luhur, warisan leluhur, pasti memiliki nilai dan pengetahuan
yang dapat dijadikan dasar untuk sampai pada lestari, pada kemaslahatan.
Mengembangkan boleh, tetapi tidak meninggalkan sama sekali, menganggap
kedewasaan ini lebih maju ketimbang yang dulu, maka keluputan itu pasti
terjadi.
Salah
satunya adalah dengan mikul duwur mendhem jeru, aja lali asal, menjadi
filosofi yang luhur, menuranikan pengetahuan, kebaruan, perkembangan, yang
dijalani tapi tidak lupa akar, tidak lupa pondasi, dan tidak memaksakan
kebenarannya sendiri.
Baik
ritus, tradisi, seni, cara pandang, cara hidup, dan berbagai strategi lain
untuk menjaga dan meluhurkan warisan para arif dan luhur di masa silah adalah
sebentuk rimbunnya ringin dengan sumber mata air yang disimpan dalam tanahnya.
Dan – yang terpenting adalah kesadaran dan keberlangsungannya.[]
![]() |
dok.pri |
![]() |
dok.pri |
![]() |
dok.pri |
![]() |
dok.pri |
![]() |
dok.pri |
![]() |
dok.pri |
![]() |
dok.pri |
![]() |
dok.pri |
Komentar
Posting Komentar