Iswaya.my.id - Setiap manusia memiliki cara pandang dan moralitas yang plural. Sehingga akan menjadi satu komunikasi yang beragam juga saat mereka berbaur dan - secara sengaja atau tidak menyepakati norma dan nilai sosial. Simbol dan kode-kode komunikasi yang ada di lingkungan kita saat ini adalah bentuk atas kesepakatan-kesepakatan tersebut.
Manusia tidak bisa lepas dari aspek sosial dan keagamaan. Ruang ini memang menjadi tempat bergumul menampilkan secara fungsional nilai-nilai agama dan kepercayaan. Kalau memanusiakan manusia merupakan sikap fungsional nilai-nilai agama tentang memuliakan tetangga atau siapapun di sekitar kita, maka kemanusiaan itu tentunya lekat dengan kebudayaan secara umum.
Gus Dur menegaskan bahwa fungsi nilai-nilai agama harusnya selaras dan senafas dengan kebudayaan yang plural. Ketika suatu bangsa atau manusia dalam makna secara khusus memiliki nilai dan budi yang senafas antara lahir dan batinnya, maka out putnya adalah menghargai antar kemajemukan yang ada. Seje deso mowo coro, ungkapan ini adalah bentuk lain dari keberagaman yang ada di negara kita adalah realita dan fenomena. Yang mana dalam aspek tertentu memiliki perbedaan dan persamaan di sisi lainnya.
Perjumpaan malam ini (29 Juli 2025) di Tajinan, bersama Mas Hendrik Aksara, Gus Nanang, Mas Yusuf Sang Makudur, Mas Eko Mahamantri dan Cak Muri Samgat dari Kalipare penuh rasan-rasan. Rasan-rasan malam itu masih seputar "budaya" baik dalam makna substansinya, atau makna yang mulai meluber ke seni dan tradisi, bahkan sampai pada penafsiran-penafsiran haluwarga.
Membaca budaya tentu seperti membaca ragam lukisan yang mengait di tembok-tembok kehidupan. Ada yang senantiasa mengaitkan dengan nilai religiusitas, intelektualitas, harmoni alam, abstrak, bahkan absurd sekalipun. Itulah pembacaan, apalagi rasan-rasan, pasti dengan narasi liar dan penuh keradikalan. Jebakan dari persepsi adalah penolakan, ketidakterimaan dan berbagai pembenaran. Sederhananya, sejak dulu yang dikatakan gula pasti manis, tiba-tiba ada teman yang mengatakan bahwa gula itu pahit, dan itu fakta, pasti yang mengalami dan meyakini bahwa gula itu manis tidak terima dengan anggapan gula pahit.
![]() |
Para Rakrean (dok.pri) |
Begitu juga dengan budaya ketika ditarik pada ruang esensial, pada ruang yang lebih dalam, perenungan dan keluasan cara berpikir. Budaya dikatakan sebagai ide, kreativitas, gagasan yang lahir dari perenungan, pembelajaran, pengalaman lalu dituangkan dalam sebuah karya, apakah pernyataan ini diterima begitu saja? tentu tidak. Masalahnya adalah pola pikir yang beragam. Belum lagi kalau diperjumpakan dengan watak yang berbeda-beda. Dapat dipastikan, kebenaran yang benar-benar kebenaran akan dipertanyakan dan disepahamkan dengan gagasan "diri".
Sebuah gagasan jawa berujar bahwa "kudu ngilo gitok'e dewe" harus belajar mengenali diri sendiri, mengenali berarti memahami, memahami berarti mesra dan tidak tertipu, tertipu dalam arti yang sebenarnya. "Antara akal dan hati nurani tidak gatok" kata Gus Agus Jatikerto. Memang harus ketemu dulu antara akal dan hati, biar tidak makan hati.
Rasan-rasan ngalor ngidul di pertigaan warung kopi dekat tugu garuda di Tajinan itu secara garis besar adalah upaya menguliti diri sendiri, dengan menertawakan, kadang juga timpalan-timpalan lugu, bukan untuk menjatuhkan sini dan situ melainkan upaya ngoncek'i. Ini menjadi salah satu dasar berbudi dan berdaya, melanggengkan kesadaran bukan anggapan, meluhurkan proses belajar bukan memuja hasil atau capaian.
Masalahnya adalah mau belajar atau tidak? mau sinahu atau tidak? sinahu bukan semata ketika tidak tahu, sudah tahu pun harus sinahu, evaluasi diri, tidak terjebak pada "aku"nya. Tidak memaksakan kebenaran subjektif untuk diterima dalam wilayah yang lebih plural.
Jadi, aja njiwit yen ora pingin dijiwit, aja mekso wong liya kudu seneng onde-onde kayak awak dewe, karena kesenangan dan kesukaan itu relatif. Apalagi kebenaran subjektif. Sebagai manusia tentu yang perlu diakrabi adalah dirinya sendiri, tidak mengontrol orang lain untuk sama dengan dirinya. Lagi-lagi pluralisme itu bukan tentang keberagaman tradisi, ritus, gagasan, atau apapunlah, tapi lebih pada belajar untuk mengakui bahwa keberagaman itu adalah anugerah yang harus diteropong dengan budi dan daya.
Budi dalam melihat keberagaman, dan daya dalam berjabat tangan dengan keberagaman itu. Sehingga sampai pada titik temu yang sama, yaitu kesadaran, maslahah dan kebermanfaatan. Mau jadi khairunnas anfauhum linnas seperti apa jika hanya terpaku pada kata "menurutku, menurut saya, ngapunten menggah kula ngeten, dan lain sebagainya". Lagi-lagi dalam keberagaman bukan "akunya" tapi bagaimana kita.
Jangan sampai duduk sama rendah, ketika berdiri hilang begitu saja, ilang plencing entah kemana.[]
Komentar
Posting Komentar