Kalau boleh jujur, menjadi warga NU itu ibarat menjadi sepupu jauh dari keluarga besar yang kadang berkumpul ramai, kadang ribut kecil, tapi ujung-ujungnya tetap makan bareng, ngopi, dan saling pinjam sandal. Sebenarnya, kita hidup dalam tradisi yang begitu cair. Di satu sisi penuh kesantunan ulama, di sisi lain penuh kegaduhan grup WA yang isinya kadang lebih panas dari sambal geprek dengan berbagai level.
Nah, belakangan, konflik kecil-kecil di tubuh PBNU membuat banyak warga NU, khususnya warga kultur mengernyitkan dahi, bukan karena marah, tapi karena kog ya tega-teganya bikin gaduh hanya karena hal remeh-temeh? Seolah-olah NU ini sudah sangat stabil, sangat sepi masalah, sampai-sampai hal kecil pun diperebutkan. Padahal warga NU di kampung masih banyak yang memikirkan hal-hal lebih penting; pupuk sulit, anak kosan nunggak, dan kopiah hilang entah ke mana pas shalat Jumat.
Di tengah itu semua, kadang terdengar celetukan-celetukan yang sedikit nyelekit “Lha iki piye, kiai? NU kok rasa-rasa kayak sinetron Ramadan tapi tanpa sponsor kurma?”
Ketika para muassis mendirikan NU tentu semangatnya begitu teguh; menjaga tradisi Islam Ahlussunnah wal Jamaah, mengayomi masyarakat kecil, memperjuangkan martabat bangsa. Tidak ada istilah “rapat pleno beraroma politik”, tidak ada yang namanya “isu dualisme struktur”, apalagi “pergesekan narasi di media”. Dulu, kalau ada perbedaan? Diselesaikan sambil ngeteh, ngopi, ngudud bareng. Paling banter sambil debat di serambi masjid, tapi habis itu pulang bareng.
Bandingkan dengan sekarang, perbedaan kadang dibahas di Zoom meeting, disebarkan di broadcast, dipanaskan oleh opini netizen yang bahkan belum tentu tahu bedanya khittah dan kitab kuning. “Padahal kalau mau adem, tinggal ngaji kitab Adab al-Mufrad 15 menit, selesai.”
Spirit awal itu lurus, bukan lurus sok tegang, tapi lurus yang lentur. Lurus yang mampu menahan konflik, bukan menciptakan konflik baru.
Di luar sana, kita tahu bahwa konflik internal PBNU akhir-akhir ini kadang dimulai dari urusan sangat teknis; soal jadwal, soal kewenangan tertentu, atau soal yang masyarakat awam akan menyebutnya sebagai “masa Allah, kok gitu to?” kini masalahnya tambang yang tambeng itu. Masalah dum-duman proyek, dan berbagai anu-anu yang lain.
Sebagai warga NU, kami sering bingung, Apakah ini konflik beneran, atau hanya perbedaan tafsir antara pasal organisasi dengan pasal hati masing-masing? Yang jelas, bagi kami yang tinggal di desa, melihat PBNU gaduh karena perkara teknis itu rasanya seperti melihat dua orang dewasa berebut kipas angin padahal jendela rumah terbuka lebar dan anginnya kenceng. Tidak perlu lah, kiai.
Kami hanya berharap para tokoh di pusat ingat bahwa remah-remah konflik di level elite bisa berubah menjadi gunung berapi kecil di kalangan akar rumput.
Padahal akar rumput NU itu bukan hanya kuat, tetapi juga sensitive. Begitu ada isu, langsung beredar dalam hitungan detik ke grup WA, grup bapak-bapak masjid, grup alumni pesantren, hingga grup ibu-ibu Fatayat dan Muslimat yang biasanya lebih cepat dari CNN.
Dari Langgar ke Sawah, dari Sawah ke Grup WA
Warga NU kultur itu warga yang unik, berkarakter, hangat, dan sedikit absurd dengan cara menyenangkan. Kami hidup di antara ritme tradisi yang lambat dan perkembangan digital yang cepat. Kadang baca yasin, kadang baca status Facebook tetangga, kadang juga ikut tahlil, tapi tetap bergerak dalam ruang-ruang yang senyap. Jadi ketika PBNU ribut, reaksinya tidak marah-marah seperti fans klub sepak bola sebelah, tapi lebih mirip komentar bapak-bapak saat menonton sinetron “Halah, iki paling yo durung ngopi” “ben wae, penting ora ngganggu tahlilan malam Jumat.”
Kami peduli tapi dengan cara kultural, sebab sejak kecil kami diajari bahwa menghormati ulama itu wajib. Hanya saja, kami juga cukup cerdas untuk memahami bahwa organisasi sebesar NU pastilah rumit. Dan sesekali, elite-nya juga manusia biasa, bisa capek, bisa emosional, bisa salah. Tidak ada yang suci kecuali kitab.
Di mata masyarakat luas, NU itu raksasa sosial-keagamaan yang wibawanya besar. Sebuah payung besar tempat berkumpulnya orang-orang baik, moderat, sabar, dan cinta damai. Tapi ketika ada konflik internal muncul ke permukaan, publik sering merasa heran “Kog NU bisa ribut juga ya? Padahal biasanya adem.”
Sebagai warga NU kultur, kami ingin menjelaskan NU itu besar sekali, dan organisasi besar tentu punya dinamika. Tapi masalahnya bukan pada perbedaan pendapat itu sehat. Yang jadi masalah adalah ketika perbedaan itu dikelola dengan kurang rapi sehingga tampak seperti drama rumah tangga.
Padahal publik ingin melihat NU seperti dulu: lembut, teduh, menuntun, bukan justru ikut ramai di tengah bisingnya ruang publik kita.
Dulu NU adalah rumah teduh, dengan ulama yang berwibawa tanpa perlu banyak bicara. Konflik internal diselesaikan dengan tabayyun langsung, bukan tabayyun via caption Instagram. Ulama menjadi rujukan utama, bukan trending topic. NU mengurusi umat, bukan mengurusi rumor.
Sedangkan Kini NU menghadapi tekanan era digital, publik ingin semua cepat, jelas, gamblang. Setiap isu jadi viral dalam hitungan jam, memaksa lembaga mereaksi secara terbuka. Ada dinamika politik nasional mempengaruhi ritme internal. Media sosial membuat perbedaan kecil tampak seperti perpecahan besar.
Bukan berarti NU mundur. Justru NU sedang belajar menari di zaman yang ritmenya terlalu cepat. Sebagai warga NU kultur, kami hanya ingin hal sederhana, NU tetap menjadi NU organisasi yang teduh, menjaga akidah dan tradisi, dan mengayomi masyarakat. Kami tidak meminta semua elite sempurna. Kami hanya berharap, Jangan bikin gaduh karena perkara remeh. Ingatlah semangat muassis; kesederhanaan, keteduhan, dan kewibawaan. Kalau berbeda pendapat, jangan bawa piring ke meja publik. Ingat bahwa warga NU itu banyak dan bermacam-macam; jangan bikin kami bingung.
Jadilah teladan, bukan ikut-ikutan ritme politik nasional yang cepat panas. Kadang kami membayangkan, seandainya para muassis bangun sebentar melihat konflik kecil hari ini, mungkin mereka hanya senyum tipis sambil berkata: “Halah, iki isih bisa rembugan. Ora usah ditarik-tarik nganti mumet.”
NU itu rumah besar, bukan panggung kompetisi. Rumah tempat santri pulang, tempat masyarakat mencari petunjuk, tempat tradisi dirawat. Rumah yang sakral bukan karena bangunannya, tapi karena barokah perjuangan pendiri-pendirinya. Karena itu, warga NU kultur selalu berharap; Jika ada gesekan, tolong jadikan itu bagian dari kedewasaan. Jangan jadikan itu tontonan. Rumah dibersihkan dari dalam, bukan diteriaki dari luar.
NU tetap kuat, tetap besar, tetap berpengaruh. Tidak mudah runtuh, karena fondasinya bukan hanya struktur, tapi juga doa puluhan juta jamaah yang mencintainya. Yang dibutuhkan hanya sedikit pendinginan kepala, sedikit humor, sedikit kopi, dan sedikit ingatan terhadap spirit awal: melayani umat, bukan melayani ego. Kalau dulu NU bisa menghadapi kolonialisme, komunisme, dan radikalisme, masa iya kalah sama ribut-ribut kecil?
NU itu seperti pohon beringin tua, anginnya boleh kencang, tapi akarnya dalam. Dan kami, warga NU kultur, akan selalu ada di bawah teduhnya meski kadang sambil nyeletuk kecil “Sing tenang, kiai. Wong NU ki kuat. Sing penting ojo nganti lali ngumpul, ngopi, kaleh ngudud sareng-sareng, tesih jisamsu toh?”[]

Komentar
Posting Komentar