![]() |
KalderaNews/Ist |
Tahun baru satu januari, jawa,
imlek, nyepi, saka dan lain sebagainya adalah sebuah pertanda bertambahnya usia.
Apapun itu. Sehingga pertanyaannya adalah perlu dirayakankah atau direnungi? Setiap
tahun baru pasti riuh. Kembang api, pembacaan shalawat berjamaah, ngarak
saji, bakar jagung, bakar ayam dan lain sebagainya. Artinya momentum tahun
baru satu januari atau tahun baru yang lain menjadi sebuah keharusan untuk di
rayakan.
Di luar hal tersebut sudah
menjadi kebiasaan atau hanya ikut-ikutan, ternyata perayaan tahun baru satu
januari mengacu pada era simbolisme Eropa baheula. L. Murbandono H.S. memberi
gambaran bahwa muara dari simbolisme itu adalah (1) mengawali kebaikan, (2)
membuang kejahatan, (3) melakukan penyucian, dan (4) dilakukan dengan suka cita
dan gegap gempita.
Artinya apa yang menjadi peyaan
hari ini, masih saja sama seperti di awal tahun-tahun sebelumnya. Perayaan Tahun
Baru satu Januari bermula pada tahun 1752, di mana penanggalan Gregorius
diterima di Inggirs, prosesnya pun berabad-abad, dimulai dari era kalender
Dionysius (526 SM), dikoreksi Julius Caesar (46 SM), kemudian seteah 16 Abad
dikoreksi oleh Paus Gregorius melalui saran Clauvius (1582). Sehingga perayaan
ini nyatanya masih berumur tiga abad,
dan itu tidak terlalu tua.
Beangkat dari proses panjang di
atas, agaknya peryaan Tahun Baru satu Januari yang katanya juga dikaitkan
dengan peringatan sehari setelah meninggalnya sang Santo Silvester tersebut. Adalah
perayaan atas proses panjang sebuah pengetahuan astronomi yang pada akhirnya
melahirkan sebuah kalender penanda. Ilmu pengetahuan memang abadi, seperti
halnya juga terkait dengan astronomi. Hal inilah yang pada dasarnya perlu kita
renungkan di setiap akhir tahun menuju awal tahun yang mana pergantiannya
selalu dirayakan dengan ragam ekspresi.
Ekspresi adalah sebuah ungkapan
mendasar manusia yang menjadi respon atas apa saja yang terjadi di sekitarnya. Sehingga
wilayahnya bukan larangan atau anjuran. Jika kebiasaan di setiap Tahun Baru
satu Januari adalah berlibur bersama keluarga, maka di masa pandemi ini agaknya
dapat dilakukan dengan hal yang lain, seperti membangun kebersamaan dengan masak
bersama di rumah, membaca buku bersama, nonton film bersama di rumah, dan lain sebagainya.
Walaupun pada akhirnya akan muncul ragam alasan untuk tetap berlibur di luar.
Jauh dari pada itu larangan atau
anjuran memiliki resiko masing-masing. Sehingga perayaan Tahun Baru satu Januari
agaknya memang perlu menjadi momentum perenungan secara besar-besaran di dalam
diri setiap manusia. Perenungan itu bermuara pada pengenalan diri dari
perjalanan sebuah pola pikir. Sebuah refleksi dari Syeikh Muhammad Jamaluddin
al-Qasimi adalah “Bahwa setiap pola pikir itu perlu dibangun – benahi, karena
jalan sebuah pola pikir itu pasti melalui empat ruang, di antaranya adalah ketaatan,
potensi kemaksiatan, potensi merusak, dan potensi menyelamatkan.”
Pola pikir yang dimiliki setiap
orang pasti memiliki tendensi terhadap keempat ruang di atas. Hal ini terjadi
karena memang manusia memiliki sifat hewani dan nafsu yang melekat di dalam
diri manusia. Perayaan Tahun Baru satu Januari adalah himpunan dari ragam pola
pikir yang bertemu dan tumpah ruah dalam mengekspresikannya. Oleh karena itu
wajar ketika bentuk perayaannya sangat beragam, walau kadang jarang yang
memikirkan imbas dan efeknya.
Jika di atas dikatakan bahwa
Perayaan Tahun Baru satu Januari adalah perayaan ilmu pengetahuan, khususnya
astronomi. Maka dinamisasi pengetahuan memiliki potensi atas pembentukan pola
pikir dan pasti akan menemui empat ruang seperti yang dikatakan di atas. Semoga
kita selalu berkembang dari masa ke masa, dan selalu menebar manfaat bagi sesama.[]
Komentar
Posting Komentar