Istri dari seorang pemimpin* yang santun dan teladan ini adalah wanita sufi yang semasa dengan Rabi’ah. Dia tidak menengadahkan pandangannya selama empat puluh tahun, ahli puasa, serta tidak tidur di malam hari.
“Mengapa engkau melakukan hal yang seakan menyiksa dirimu?” seseorang bertanya.
“Tidak, hal tersebut tak menyiksaku sama sekali. aku mengahirkan waktu ku terhadap waktu yang lain, aku mengganti masa tidurku dari malam ke siang, dan mengganti masa makanku dari siang ke malam,” jawab Muadzah dengan Tegas.
Al Azdy menjumpai tulisan ayahnya, dimana menceritakan tentang wanita yang hidup semasa dengan Rabi’ah al Adawiyah.
Wanita itu menerangi malamnya dengan sholat, jika kantuk datang menyelimutinya ia pun berlari, dan berputar-putar di rumahnya, seraya berkata, “wahai nafsuku tidurlah di depanku. Apabila engkau tak kuasa menahan kantuknya maka tidurlah di dalam kubur. Dalam keadaan bahagia ataupun gundah gulana dan jangan kau gugurkan bangunku sehingga menemui keadaan pagi.”
*Suaminya adalah Shilah Bin Asy Yam Al ‘Adawi, disamping panglima perang, ia dikenal sebagai sufi besar. Ia meninggal dalam peperangan tahun 75. Ia dikenal sebagai ahli ibadah di malam hari, saat semua orang sibuk membetulkan selimutnya, dan malam sudah menghamparakan tirainya, saat itulah ia menyempurnakan wudlu’nya kemudian menghadapakan diri kepada keteguhan yang ESA, di kala siang ia menahan perutnya dari terisi makanan,
Ja’far ibn Zaid meriwayatkan, ia menuturkan, “Kami keluar dalam suatu peperangan. Dan bersama kami ada Shilah ibn Asyam dan Hisyam ibn ‘Aamir...Ketika kami telah bertemu musuh, Shilah dan sahabatnya melesat dari barisan kaum muslimin dan keduanya menerobos kumpulan musuh, menusuk dengan tombak dan membabat dengan pedang, sehingga keduanya memberi pengaruh yang besar terhadap front depan pasukan. Maka sebagian panglima musuh berkata kepada sebagian yang lain, “Dua orang tentara muslimin telah menurunkan (menimpakan) kepada kita hal seperti ini, bagaimana jadinya apabila mereka seluruhnya memerangi kita? Tunduklah kalian kepada hukum muslimin dan tunduklah dengan taat kepada mereka.”
Pada tahun 76 H, Shilah ibn Asyam keluar dalam sebuah peperangan bersama pasukan muslimin menuju negeri Maa waraaun nahri* dan ia ditemani oleh anaknya.
perang semakin berkecamuk., “Wahai anakku...majulah dan perangilah musuh-musuh Allah sehingga jika kamu syahid, aku akan mengharap pahalanya dari Allah Dzat yang tidak akan pernah hilang titipan-titipan di sisi-Nya,” ungkap Shilah kepada anaknya Pemuda tersebut memerangi ia terus saja bertempur hingga jatuh tersungkur syahid.(baca: Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn Sa’d: 7/134)
Sumber gambar: Maiyah Relegi
Komentar
Posting Komentar