Bagaimana Hukum Pacaran Dalam Islam? Bolehkah?



Multaqo – Proses mengenal satu sama lain adalah salah satu anjuran dalam Islam, di wakili dengan kalimat Li ta'arafu. Namun, terkadang pemahaman ini acap kali menjadi blunder dan disalah artikan.

Untuk membangun hubungan keluarga, biasanya pria dan wanita saling mengenal satu sama lainnya. Di masyarakat luas dikenal dengan istilah pacaran. 

Lantas bagaimana hukum pacaran menurut pendekatan islam?

Islam tidak pernah mengajarkan tentang pacaran, yang mana faktanya adalah tidak sedikit yang mampu menahan diri ketika sedang berduaan dengan pasangan. Perbuatan ini sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersama dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya.”

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah telah menulis atas anak Adam bagiannya dari zina, maka pasti dia menemuinya: Zina kedua matanya adalah memandang, zina lisannya adalah perkataan, zina hatinya adalah berharap dan berangan-angan. Dan itu semua dibenarkan dan didustakan oleh kemaluannya.”

Dalam hal ini, pacaran memiliki potensi atas perzinahan menurut pandangan Islam, oleh sebab itu wajib bagi yang belum bisa menahan diri untuk segera menikah. 

Menikah adalah suatu ibadah yang dicontohkan Rasulullah, namun caranya dengan melalui pacaran tidak pernah dicontohkan oleh beliau. 

Penjelasan dalam Surat al-Isra ayat 32 : “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”

Artinya secara tegas pacaran dilarang oleh Islam, dan proses ta'aruf yang kemudian dibenarkan. Di mana, ta'aruf menjadi bagian penting untuk saling mengenal calon pasangan dari berbagai sisi; keluarga, agama, keilmuan dan prinsip-prinsip.

Dalam istilah masyarakat umum, bibit, bebet dan bobotnya harus dikenal dengan baik, sebelum jauh melangkah. 

Oleh sebab itu, dalam Islam justru yang dianjurkan adalah ta'ruf, yang mana dengan empat kriteria utamanya yaitu kepemilikan atau kemapanan finansial, nasab keluarga, kecantikan atau ketampanan dan, agama serta prinsipnya. 

Keempat kriteria itu tidak seharusnya dipahami secara tekstual, artinya perlu dipilahpahami antar kriteria, jika tidak karena hartanya, bisa jadi karena nasabnya, atau karena kecantikan dan ketampanan, atau justru karena agamanya dan mengenyampingkan kriteria yang lain. 

Maka jelas, pra pernikahan dianjurka untuk ta'aruf sebagai bentuk saling mengenal di antara ke dua calon pasangan.[]


Komentar