Multaqo – Persoalan kemerdekaan bagi setiap manusia adalah menjadi salah satu prinsip Islam.
Besok, Selasa 17 Agustus 2021 adalah momentum untuk mengikat dan merenungi kembali sejarah besar kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Hari kemerdekaan nasional yang ke-76.
Kita tahu sejarah kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari perjuangan ragam suku bangsa, pelestarian adat dan budaya, membangun peradaban, persatuan lintas agama dan lain sebagainya.
Dalam konteks agama, Islam muncul dalam perjuangan diwakili oleh ragam kelompok. Organisasi keislaman seperti NU dan Muhammadiyah, tarekat, barisan kyai, barisan santri dan lain sebagainya.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya lobi politik dan diplomasi-diplomasi, melainkan perjuangan atas dasar kemerdekaan itu juga dilakukan oleh muslimin, khususnya santri dan kyai.
Salah satu yang menarik adalah perjuangan kaum sufi, di mana anggapan bahwa mereka tidak nimbrung dalam hiruk pikuk dunia, ternyata atas dasar cinta kepada Allah dan kemanusiaan mereka turut serta melawan penindasan dan penjajahan.
Dalam sejarah syariah misalnya, pangeran Diponegoro adalah aktor utama dalam perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang erat akan tarekat Syattariyah.
Sebagaimana dikutip oleh Peter Carey, Diponegoro disebutkan sebagai pembaca Kitab Topah. Kitab Topah yang dimaksudkan di sini adalah Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi yang dikarang oleh Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri al-Hindi (w. 1620 M).
Islam dan Kemerdekaan
Pada pembahasan maqashid asyariah ada sekitar 5 poin penting yang menjadi tujuan kemaslahatan.
Di mana setiap muslim memiliki hak atau prioritas dalam 5 poin tersebut. Di antaranya adalah hak beragama, hak bernegara dan berbangsa, hak bekerja, hak berkeluarga dan memiliki keturunan.
Artinya Islam secara tidak langsung memberi kemandirian dalam mengambil sikap dan menjalankan hak kemerdekaan pemeluknya. Hal inilah yang kemudian menjadi jembatan menuju saling menghargai, menghormati, toleransi dan lain sebagainya.
Kemerdekaan dari Hawa dan Nafsu
Makna dari hawa dan nafsu sangat bergam, karena setiap keinginan pasti muncul atas dasar adanya nafsu.
Akan tetapi memaknai kemerdekaan tidak lepas dari memerdekakan diri dari jerat hawa nafsu yang menyesatkan.
Jika bernegara menjadi satu pilihan mutlak para pendahulu untuk berbangsa dan bertanah air satu Indonesia yang binneka tunggal Ika, maka akan menjadi salah ketika memaksakan kehendak lain untuk menyalahi apa yang sudah disepakati bersama.
Hal ini tidak hanya terjadi pada konteks kenegaraan, tetapi pada konteks personal juga perlu diperhatikan, agar kita tidak terjerat hawa nafsu.
Nafsu untuk menguasai, menyakiti orang lain, memakan harta orang lain dan lain sebagainya.
Apalagi di masa-masa pandemi seperti ini, di mana banyak hal didapatkan dengan menghalalkan segala cara, berdiri di atas penderitaan orang banyak, adalah sebentuk jerat tali hawa nafsu yang perlu dihindari.
Oleh karena itu, memaknai kemerdekaan yang ke -76 ini setidaknya dimaknai dengan kedewasaan yang mana jika didekati dengan filosofi Jawa yaitu kasepuhan, atau pengalaman yang panjang sehingga menjadi keampuhan atau kebijaksanaan yang memuncak.
Yang mana diharapkan menjadi satu pintu untuk memasuki kewarasan berpikir dan bersikap, setidaknya memerdekakan diri dari hawa dan nafsunya.
Sehingga dapat menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dalam ruang-ruang keberagamaan dan keberagaman.[]
Komentar
Posting Komentar