Saya menemukan hal menarik saat nderes prolog dari buku
Filsafat Pendidikan Islam karya Prof. Dr. Ahmad Tafsir. Beliau mengungkapkan
kebingungannya membedakan antara filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan. Dalam
perjalanan pemikirannya, akhirnya beliau menemukan titik terang bahwa perbedaan
keduanya terletak pada sisi empiris.
Filsafat pendidikan tidak memiliki sisi empiris dikarenakan pembahasan
filsafat hanya membutuhkan logis saja. Tepat sekali dengan pemaparan dosen
saya, Pak Arif Majid yang mengungkapkan ciri khas filsafat ada tiga yakni : radikal, sistematis dan universal.
Hal yang menarik adalah ketika dua pemaparan di atas dikaitkan dengan
pemaparan selanjutnya yang juga disampaikan dosen saya, Ibu Nur Rohmah kalau
filsafat merupakan induk dari sains.
Menariknya adalah, bahwa sains yang merupakan ilmu pengetahuan tentu
saja memerlukan sisi empiris dalam proses mempelajarinya. Artinya, induk dari
fan ilmu yang membutuhkan sisi empiris adalah fan ilmu yang tidak memerlukan
sisi empiris.
Apakah dalam kasus ini bisa disamakan dengan persoalan manusia yang
menyatakan, "Anak harus lebih sukses ketimbang induknya". Atau pernyataan lain, "Perkembangan
zaman akan menjadikan anak berbeda dari induknya?”
Melihat pernyataan pertama, ada satu poin penting sebelum membahasnya
lebih dalam yaitu, apakah betul sisi empiris merupakan suatu kesuksesan.
Menurut saya tidak, karena itu hanya sebuah ciri khas dan bukannya alat ukur
sebuah kesuksesan fan ilmu.
Kita tidak bisa mengatakan fan ilmu satu lebih sukses dari yang lain
hanya karena empirisnya. Semua fan ilmu adalah bukti kesuksesan manusia dalam
memfungsikan akalnya. Dan ciri khas dari fan ilmu bukanlah keharusan yang harus
ada melainkan pembawaan yang pasti melekat tanpa diharuskan keberadaannya.
Jadi, dalam hal ini, filsafat dan ilmu tidak bisa disamakan dengan
pernyataan pertama. Selanjutnya dalam pernyataan kedua. Bisa dikatakan bahwa
dari sisi historis, keduanya (yaitu filsafat-ilmu dan manusia) memiliki sedikit
kemiripan. Filsafat lahir sebelum adanya ilmu.
Itu terjadi di abad sebelum masehi
ketika Thales yang seorang nelayan diatas perahunya memikirkan tentang dari
bahan apa bumi diciptakan.
Dalam perkembangan selanjutnya, filsafat diteruskan dari Yunani ke
Roma, lantas ke Timur Tengah. Dan diera filsafat Timur Tengah inilah filsafat
mulai dipecah-pecah menjadi beberapa fokus pemikiran. Mulai dari yang membahas
manusia, alam sampai wahyu.
Akhirnya dibakukanlah semua pecahan tersebut menjadi beberapa fan
ilmu. Saya kutip lagi pernyataan dari Pak Arif Majid, "Ilmu adalah
pengetahuan yang terverifikasi menjadi baku dan satu kesatuan yang utuh"
Ini dari sisi historis, namun dari sisi perkembangan itu sendiri akan
terlihat perbedaannya. Filsafat berkembang menjadi ilmu karena ambisi manusia
dalam memajukan pemikiran yang akhirnya menciptakan inovasi dalam kehidupan.
Sementara pada manusia sebaliknya, yakni manusia berkembang karena mengikuti
arus inovasi yang diciptakan oleh pemikiran manusia.
Jadi terang sekarang bahwa filsafat-ilmu meskipun dengan idiom
induk-anak, tetap tidak bisa disamakan dengan manusia.
Dari sini, pembahasan filsafat-ilmu menjadi lebih menarik karena saya
tidak memiliki apapun lagi untuk diperbandingkan. Membaca buku yang berkaitan
dengan pembahasan ini dan merenungkannya, serta diskusi dengan pakar lalu
merenungkannya pasti akan banyak membantu.
Nahasnya, saya menuliskan hal ini sebelum melakukan itu semua. Dan saya
tetap nekat menulis karena keinsafan saya sebagai manusia yang mudah luput dan
lupa. Jadi akan saya coba petakan semampunya dan alakadarnya.
Filsafat tidak memerlukan empiris dikarenakan berfilsafat berangkat
dari ketiadaan. Sementara ilmu memerlukan empiris dikarenakan berilmu berangkat
dari yang ada, yakni hasil dari pemikiran filsafat. Karena hal tersebut,
menjadikan filsafat sebagai induk dari ilmu bukan sesuatu yang aneh.
Ketika seseorang berfilsafat, ia akan merenungkan pertanyaan
"Jika" dan "Maka". Sementara ketika seseorang berilmu, ia
akan mencoba untuk bertanggungjawab atas ilmunya dengan menciptakan kehidupan
yang lebih baik, atau dalam pengertian lain, mempraktikkan ilmunya.
Dari sini bagi saya jelas, bahwa filsafat ialah gerbang masuk menuju
ilmu. Dan ilmu ialah kontraktor dalam peradaban kehidupan manusia.
Tabik.
(*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Semester 1 di STIT Ibnu Sina Malang. Tulisan di atas adalah ide dan buah gagasan dari penulis.
Komentar
Posting Komentar