Iswaya.my.id - Beberapa waktu lalu saya berdialog gayeng dengan sahabat-sahabat di Lesbumi Malang tentang arah pendidikan pesantren. Kebanyakan pengurus lesbumi memang sudah berkeluarga dan sebagian anak-anak dari mereka saat ini sedang nyantri di beberapa pesantren ternama di Malang dan sebagian di Kediri.
Mereka memiliki harapan dan keyakinan bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan dengan kurikulum kemanusiaan yang luhur, bahkan tidak segan-segan untuk membentuk santri menjadi manusia yang syarat dan ketat dengan penempaan diri, agar menjadi manusia yang paripurna, insan kamil, ing ngarsha sung tuladha, mulat sarira, dll.
Mereka memiliki harapan bahwa pendidikan di pesantren dapat menjadi benteng kuat atas kontaminasi globalisasi yang amat sangat menyeruak dan di jaman post - truth ini tidak sedikit remaja - bahkan dewasa kerap kali terkontaminasi oleh glamoria dan gemerlapnya kemajuan. Bukan berarti sama sekali tidak bermanfaat, tetapi menata dasar dan prinsip ketahanan mental itu agaknya hanya di pesantren yang masih ketat kurikulumnya; tirakatan, semaan, dll.
Kegayengan itu bermula saat salah satu teman bercerita tentang kasus bullying yang terjadi beberapa waktu lalu di salah satu pesantren, hal ini cukup menjadi pembahasan yang multi wawasan sesuai dengan empirisme masing-masing. Dan kebetulannya, salah satu sahabat kami itu putranya sedang nyantri di sana, bahkan sangat mengetahui proses bullying yang terjadi itu. Ternyata bukan hanya bullying verbal seperti halnya yang terjadi di pesantren-pesantren pada umumnya; dari bertukar julukan dan joke-joke yang 'dark' sekali misalnya, tetapi tidak berdampak pada psikologis para santri, terkecuali saat bullying itu lebih pada bullying secara fisik bahkan sampai terjadi intimidasi dan diskriminasi, hal itu cukup memberi rasa takut dan was-was secara psikologis bagi para santri yang menjadi korban.
![]() |
Sumber Gambar: Catatanan Nusantara |
Pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang memiliki karakter kemanusiaan dan kultur kebudayaan yang asor, tidak sedikit kisah heroik para santri saat nyantri menjadi rujukan dan semangat santri lain untuk menempuh pendidikan di pesantren. Saat ini, apa yang tidak ada dalam pendidikan pesantren? mulai dari pendidikan management, pendidikan agama, moderasi, pendidikan sain, pendidikan bahasa yang beragam, fiqih dengan ragam objektifikasinya, tauhid, mantiq atau logika, tasawuf, dll. Bahkan jenjang pendidikannya bisa setara dengan ijazah di perguruan tinggi.
Artinya perkembangan pendidikan pesantren bisa sejalan dengan keberlangsungan gerak kehidupan yang fleksible. Kita tahu bahwa tidak sedikit juga para cendekiawan, inteltual, praktisi, pengusaha yang latar belakang pendidikan islamnya adalah di pesantren. Peran sosial itu nyatanya tidak sedemikian rupa lepas dari nilai-nilai pesantrennya. Inilah yang menjadi harapan dari para orang tua yang memondokkan anak-anaknya di pesantren, agar mereka memiliki kecakapan yang multi, tidak hanya dalam ruang akademik saja, melainkan kedalaman batin yang dampaknya adalah arif dan bijaksana, bahkan mereka sangat yakin akan rangkaian kemudahan-kemudahan dalam menjalani hidup selapas nyantri. (red. Barokah/wise).
Menggali Ekosistem Hijau
Pembicaraan kami akhirnya terpusat pada penegasan bahwa ada ruang sempit di dalam pesantren, di balik bangunan intelektual yang megah dan tiang batin yang kokoh itu. Melihat berbagai kondisi dan mengamati informasi terkait persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi di dalam pesantren, bahkan juga berdampak ke luar pesantren, agaknya akan menjadi satu bom waktu atau bola salju yang justru mengkerdilkan pendidikan pesantren.
Bullying, kebersihan, pengelolaan limbah, kepekaan terhadap kondisi sosial di sekitar pesantren, bahkan kepekaan terhadap gerak politis juga menjadi satu pembahasan yang berkembang. Di mana tidak sedikit pesantren yang faktanya berdiri dikelilingi tembok raksasa, gerbang besi dan menjadi sangat ekslusif. Saya teringat bagaimana kisah kyai di masa lalu ketika memberi ruang yang selebar-lebarnya kepada masyarakat untuk sekadar bertamu dan - bahkan memberikan hidangan kepada siapapun, dikenal saja tidak, tetapi pintu ndalem dan pesantren terbuka bagi siapapun saja. Tidak ada jam malam, tidak ada tembok tebal, bahkan cenderung terbuka.
Sunan Kali Jaga pernah menegus Raden Fatah ketika akan membangun rumah dengan pagar tembok yang mengelilinya, bahkan lebih tinggi dari pintu rumahnya, alasannya adalah karena tuan rumah secara tidak langsung menciptakan rasa tidak aman bagi penghuninya, apalagi bagi mereka yang ada di luar tembok, tentu akan berpikir sulit untuk sekadar bertamu dan meminta saran kepada tuan rumah.
Hal inilah yang secara psikologis mempengaruhi daya komunikasi para santri, semakin tinggi dan tebal tembok pesantren, tentu semakin jarang memandang aliran pembuangan limbah dapur dan kamar mandi, tentu tidak akan muncul pertanyaan bagaimana dampak dari pembuangan itu? atau tidak akan tergambar bagaimana kondisi masyarakat sekitar yang tidak semuanya memiliki kesempatan ekonomi seperti yang disandang kyainya. Mobil yang mentereng, harum minyak wangi yang semerbak, tentu tidak sejalan dengan kondisi di ruang sempit di dalam pesantren, karena perubahan sosial itu terjadi sejalan dengan ekslusifitas pesantren itu sendiri.
Jika permasalahannya adalah andap ashor dan menghormati, kiranya karena ilmunyalah seseorang itu dihormati, dan dengan ilmunyalah seseorang itu dapat memandang secara luas kondisi sosial yang terjadi, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Riclefs bahwa masyarakat islam jawa terlihat erat kaitannya dengan kesopanan dan keterbukaan, bahkan sangat mistik eksotis, yang artinya tradisi gak ilok, pamali dll., masih menjadi dasar komunikasi yang sangat kuat, apalagi dalam ruang-ruang pesastrian atau pesantren saat itu. Artinya, perlu ada semacam kamera cctv yang sebenarnya bukan hanya mengawasi pergerakan santri, tetapi juga menjadi media mulat sariraning diri bagi seluruh penghuni pesantren, dalam pranata sosial ada pandangan manunggaling kawula gusti tidak hanya berlaku bagi pemerintahan sebuah wilayah, tetapi juga dalam lembaga pendidikan sekalipun. Pendek kata, baik kyai, kepala sekolah, pemerintah dan lain sebagainya, berhak untuk mulat sariraning diri.
Kemegahana Bangunan
Pesantren yang berdiri di tengah masyarakat memiliki tujuan untuk membangun manusia sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Tidak jarang setiap pesantren memiliki klasifikasi potensial yang diembannya. Hal ini menandakan bahwa ada bangunan intelektual yang besar dan kokoh di dalam pesantren tersebut. Sehingga, para kyai harus memiliki penerus yang paling tidak searah dan sejalan dengan apa yang telah ditata sejak awal. Keagungan intelektualitas dan spiritualitas ini menjadi satu dimensi sosial yang memberikan marwah dan mempengaruhi pandangan publik.
Disadari atau tidak, tidak hanya di pesantren, bagi para akademisi, aktivis atau mereka yang sedang membangun citra diri, perlu ada kesepahaman yang dibangun di dalam diri agar citra itu tergambar ke khalayak luas, sehingga bisa mengajak masyarakat luas untuk sepaham dan sejalan dengan apa yang digagas dan dipikirkan. Akan tetapi, apakah perubahan sosial itu dapat dilalui dengan citra diri saja? tentu tidak, karena kemajuan dan gerak sosial mau tidak mau mempengaruhi cara pandang khalayak umum, sehingga mampu menilai dan menyimpulkan, ada yang semakin masuk ke dalam, ada juga yang menarik diri.
Konflik sosial yang terjadi di dalam pesantren bukan semata-mata satu kewajaran, tetapi tentu ada pemicu yang pertanyaannya adalah disadari atau tidak pemicu tersebut? Seperti halnya mengapa terjadi klaster-klaster atau kelompok mayoritas di dalam pesantren? padahal pendidikan pesantren mengajarkan bahwa semua manusia itu sama, apalagi di hadapan Tuhan.
Apakah ini problem solving yang dialami santri atau justru lebih dalam lagi ini adalah masalah sistem pesantren 'hari ini'? mengapa kasus asusila yang terjadi di pesantren gampang sekali menguap? atau kasus diskriminasi yang akhirnya seperti kasus santri dibakar oleh seniornya, adalah salah satu imbas dari problem solving pribadi santri? karena kalau hal ini muaranya adalah pada pimpinan pesantren tentu tidak semudah itu menyimpulkannya, pesantren memiliki sistem dan aturannya sendiri.
Lantas siapa yang bertanggung jawab atas problem solving itu? apakah santri itu sendiri, orang tua, atau kyainya? Apapun yang sudah terlembagakan agaknya memang semakin membuka potensi keruwetan-keruwetan. Seperti halnya pesantren yang dulunya adalah sebagai wadah belajar pengetahuan tentang menjadi manusia yang manusiawi seperti yang digambarkan dalam serat gendingnya Sultan Agung, bagaimana gambaran tentang belajar adalah kepada seorang yang memahami kemanusiaannya adan tidak bergantung pada status apapun, zuhud di dalam hatinya. Artinya, sosok kyai adalah muara pengetahuan yang luhur, sehingga seorang murid atau santri rela mengabdikan dirinya untuk mendapatkan keberkahan dari proses belajarnya dan dari kyainya.
Pendek kata, ruang problem solving itu perlu digali akarnya. Dengan ragam kemajuan yang meliputi pasti akan turut serta mengendalikan gerak lajunya pendidikan dan pola kehidupan pesantren. Cak Nur menegaskan bahwa, bukan perkara fisik yang seharusnya dipotret dalam pesantren, karena yang terpenting adalah non-fisiknya 'yang berupa sikap jiwa keseluruhan.' Dengan demikian, gagah dan megahnya bangunan pesantren, belum bisa menjamin substansi pendidikan yang memuat nilai-nilai pesantren itu tersampaikan, bahkan menjadi visi besar. Jika melihat peranan yang sangat besar di masa lalu, agaknya perlu dikaji dan dilakukan pemotretan sesaat kata Cak Nur.
Agar tampak di mana kelemahan-kelemahan yang perlu dilakukan tambal sulam. Sehingga membangun ekosistem hijau yang berdaulat, memberi ruang, inklusif, membuka pintu bagi siapapun, dll., menjadi satu upaya penting dalam membaca pesantren saat ini. Di mana kepentingan yang sangat beragam, pasti akan mempengaruhi laju proses pendidikannya. Mau tidak mau akan mengubah cara pandang dan membentuk kerangka berpikir yang jumud. Kembali kepada pertanyaan di atas, jika problem solving yang terjadi di pesantren adalah problem solvingnya santri, maka siapa yang berhak bertanggung jawab atas itu? jika buka perihal problem solving, lantas apa masalah sebenarnya? ini yang perlu kita renungkan bersama.[]
Komentar
Posting Komentar