Iswaya.my.id - Ludruk di Malang bukanlah sekadar tontonan untuk mengisi waktu luang. Ia adalah denyut sosial yang merekam keluh kesah, tawa, sekaligus kritik wong cilik. Dari panggung sederhana di balai desa hingga gedung pertunjukan di tengah kota, ludruk selalu membawa cerita tentang rakyat kecil, tentang harapan dan kekecewaan mereka, tentang cara bertahan hidup dengan tawa yang getir namun menguatkan. Malang, dengan sejarah panjangnya, menjadi salah satu rumah utama bagi kesenian ini. Dari generasi ke generasi, kota ini melahirkan para seniman yang menjadikan ludruk bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa.
Sejak tahun 1970–an hingga 1980–an, Malang dikenal luas sebagai salah satu pusat ludruk di Jawa Timur. Kala itu panggung-panggungnya tak pernah sepi, dipenuhi oleh nama-nama besar yang kini melegenda. Ada Totok Suprapto, maestro ludruk kelahiran 1952 yang mengawali langkahnya sejak masih kanak-kanak, menapaki jalan panjang bersama Ludruk Wijaya Kusuma Unit II, Ludruk Persada Malang, hingga akhirnya menjadi sosok penting dalam Dewan Kesenian Malang.
Ada pula kelompok Ludruk Wijaya Kusuma yang berdiri di era 1970–an, tempat lahirnya pelawak dan aktor kawakan seperti Cak Tamin, Nurbuat, dan Cak Subur, sementara panggung mereka bersinar dengan kehadiran primadona seperti Safari dan Ning Tini. Lalu pada dekade berikutnya, Ludruk Persada Malang hadir sebagai ruang baru yang melahirkan generasi muda, menjembatani tradisi panggung rakyat dengan dunia akademik di Malang Raya. Jejak panjang itu menorehkan identitas: bahwa Malang bukan hanya kota pendidikan, tetapi juga kota ludruk, tempat kesenian rakyat menemukan akar dan kehidupannya.
Dalam arus panjang itulah kini hadir sosok Mbah Subero, seniman ludruk asal Banjarsari, Banjarejo, Pakis. Julukan “Mbah” yang melekat padanya bukanlah tanda usia renta, melainkan panggilan penghormatan atas kharisma dan peran yang ia emban. Subero masih sehat, penuh vitalitas, dan dengan sepenuh hati terus meneguhkan eksistensi ludruk di Malang. Ketika ia naik ke panggung, suasana langsung berubah. Dengan gaya khasnya, ia mampu menghidupkan peran, melontarkan dagelan yang segar, dan meramu kidungan yang membuat penonton terhanyut—terhibur sekaligus tersentuh. Ia hadir bukan sebagai penjaga kenangan lama, melainkan sebagai sosok yang menunjukkan bahwa ludruk tetap segar, tetap hidup, dan sanggup berdialog dengan generasi baru.
Mbah Subero tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Kesadarannya akan arti penting regenerasi membuat ia rela membuka ruang belajar bagi para pemuda desa. Ia mengajak mereka ikut mencoba, melatih mereka, dan membangun suasana belajar bersama. Dengan itu, ia melanjutkan tradisi lama dalam dunia ludruk yang disebut tedean—hubungan erat antara guru dan murid yang menjadi nadi keberlanjutan kesenian ini. Baginya, ludruk tidak boleh berhenti di satu generasi, tetapi harus mengalir, menetes, dan terus hidup dalam diri anak-anak muda yang kelak akan menjadi pewaris panggung.
![]() |
Mbah Subero dan Istri |
Dalam setiap lakon yang dibawakannya, Mbah Subero setia pada watak antagonis namun lugas dan sarat kritik sosial. Ia menyinggung persoalan hidup sehari-hari, menggambarkan ketimpangan yang masih terasa, bahkan berani menyentuh fenomena kontemporer. Tawa dan greget yang muncul di tengah penonton tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu menyisakan renungan. Di sanalah letak perjuangan sejatinya yaitu menjaga agar seni rakyat tetap berpihak pada rakyat, agar suara mereka tetap bergema melalui panggung yang sering dianggap sederhana, namun sesungguhnya sangat bermakna.
Seperti halnya Totok Suprapto yang puluhan tahun berjuang dengan teater rakyat, atau kelompok Wijaya Kusuma yang bertahan dari gempuran komersialisasi, Mbah Subero juga memilih jalan yang sama. Ia meyakini bahwa budaya bukanlah komoditas semata, melainkan identitas yang harus dirawat dan dijaga. Dari panggung desa hingga festival daerah, ia hadir sebagai penghubung antara jejak maestro 70–80an dengan semangat generasi kini, membuktikan bahwa ludruk tidak pernah mati, tetapi terus hidup, tumbuh, dan mengakar.
Kehadirannya menegaskan pesan yang sederhana namun kuat: bahwa ludruk tidak berhenti pada nostalgia. Ia masih hidup, masih bisa menertawakan kenyataan, sekaligus menyampaikan suara rakyat yang sering terpinggirkan. Di Malang, seni rakyat ini menemukan denyut segarnya melalui sosok Mbah Subero. Dan selama ada tokoh seperti dia, ludruk akan terus berdiri tegak, menjadi cermin budaya sekaligus perekat identitas masyarakat.
![]() |
Mbah Subero |
Ludruk Armada dan Konsistensi Perjalanan Ludruk
Sejarah panjang kesenian ludruk di Malang tidak bisa dilepaskan dari nama Ludruk Armada. Grup ini lahir pada tahun 1975 di Desa Rembun, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Didirikan oleh Bagor Mustadjab, Ludruk Armada menjadi salah satu kelompok ludruk paling dikenal di Jawa Timur pada era 1980-an. Dari panggung desa hingga tampil di berbagai wilayah, Armada menjelma sebagai ikon hiburan rakyat yang selalu ditunggu.
Ciri khas ludruk, yang mementaskan kisah-kisah rakyat sederhana dengan bahasa lugas dan penuh humor, membuat Armada mudah diterima. Pertunjukan mereka tidak sekadar hiburan, tetapi juga cermin kehidupan sosial masyarakat. Di masa awal berdirinya, Armada sering mengangkat cerita perjuangan rakyat, sekaligus menyelipkan kritik sosial yang dibungkus lawakan segar. Kehadiran tari Remo sebagai pembuka, kidungan jula-juli yang mengalun, serta dialog jenaka khas Jawa Timuran, menjadikan Ludruk Armada punya tempat istimewa di hati masyarakat Malang dan sekitarnya.
Pada dekade 1980-an, Armada mencapai puncak kejayaannya. Nama mereka harum di Kabupaten Malang, bahkan sering disebut sebagai grup ludruk kebanggaan warga Dampit. Panggung mereka selalu ramai, tidak hanya oleh masyarakat desa tetapi juga penonton dari luar daerah yang ingin menyaksikan seni tradisi dengan gaya khas Malangan. Setelah wafatnya Bagor Mustadjab, kepemimpinan Ludruk Armada diteruskan oleh putranya, Eros Jarot Mustadjab. Di bawah kepemimpinan Eros, Armada tetap bertahan meski harus melewati masa-masa sulit. Memasuki era modern, terutama pada dekade 2000-an hingga 2010-an, minat masyarakat terhadap ludruk mulai menurun. Televisi, internet, dan hiburan modern membuat panggung ludruk semakin sepi. Armada pun sempat mengalami fase “mati suri” hampir satu dekade. Kelompok seni ludruk seperti Armada adalah bukti bahwa seni tradisi ini masih punya napas panjang. Ia menekankan, satu grup ludruk bisa memiliki hingga seratus anggota, yang artinya keberlangsungan Armada tidak hanya soal seni, tetapi juga keberlangsungan hidup banyak orang.
Hari ini, Ludruk Armada masih bertahan dengan panggung tetapnya di Jl. Raya Rembun RT 02 RW 01, Dampit, Malang. Mereka memang tidak lagi sepopuler dulu, tetapi tetap menjadi simbol kegigihan dalam menjaga warisan budaya. Sejarah panjangnya mengingatkan kita bahwa kesenian bukan sekadar hiburan, melainkan identitas dan jati diri. Ludruk Armada adalah saksi bagaimana seni rakyat bisa bertahan melewati zaman, dari masa perjuangan rakyat, kejayaan di era 1980-an, keterpurukan di era modern, hingga kebangkitan kembali di abad ke-21.
Selama gamelan masih ditabuh dan guyonan khas Jawa Timuran masih mampu membuat penonton tertawa, Ludruk Armada akan terus hidup. Ia adalah potret nyata bagaimana sebuah kesenian rakyat, meski sederhana, dapat menembus batas zaman dan menjadi warisan yang tak ternilai bagi generasi mendatang.
Bahan Bacaan
Damario
Times. (2021, September 18). Cak Irsan Subero: Sekolahnya di panggung ludruk.
Damario Times. https://www.damariotimes.com/2021/09/cak-irsan-subero-sekolahnya-di.html
PSPBSI
Unikama. (2021, Agustus 31). Kesenian ludruk Malang. Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kanjuruhan Malang. https://pspbsi.unikama.ac.id/id/kesenian-ludruk-malang/
Kompasiana.
(2024, Oktober 23). Ludruk khas Malangan. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/izzulumampratama/6719041bed641558bf371482/ludruk-khas-malangan
Humaidah,
B. (2016, April 3). Ludruk: Drama tradisional asal Jawa Timur. Blog Berbagi
Bersama. https://bilkishumaidah.blogspot.com/2016/04/ludruk-drama-tradisional-asal-jawa-timur.html
Malang
Times. (2017, Juni 6). Ludruk, kesenian tradisional yang dicintai Bupati Malang
Rendra Kresna. Malang Times. https://www.malangtimes.com/baca/18734/20170606/180046/ludruk-kesenian-tradisional-yang-dicintai-bupati-malang-rendra-kresna
Tabloid
Pilar Post. (2025, Agustus 6). Ludruk Armada siap tampil di Dusun Krajan
Wonokerto. Tabloid Pilar Post. https://www.tabloidpilarpost.com/2025/08/06/ludruk-armada-siap-tampil-di-dusun-krajan-wonokerto/
Wikipedia
contributors. (2025, Agustus 18). Ludruk. In Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Ludruk
Komentar
Posting Komentar