Iswaya.my.id - Dalam ruang-ruang komunikasi sosial yang begitu terbatas—entah itu meja rapat, jalanan kampung, atau sekadar grup percakapan—dua suara bersahutan seperti gong yang dipukul tanpa henti. Keduanya yakin mereka benar. Tidak ada jeda, tidak ada ruang untuk saling merenung, kemudian menjunjung tinggi apa yang disebut “maslahah”. Mereka berputar di lingkaran ego yang semakin kencang, seperti pusaran air yang menelan semua yang mendekat.
Sayangnya, di tengah pusaran itu, ada mereka yang tak ikut bicara,
tapi ikut terguncang. Mereka tidak memukul gong, tapi telinganya berdenging.
Mereka tidak menarik tali tambang, tapi tubuhnya ikut terseret. Hal yang tidak
disadari oleh mereka hanyalah keberadaannya di tengah dua batu yang saling
menghantam.
Ironisnya, pertarungan seperti ini jarang sekali disadari oleh para
petarung bahwa kemenangan mereka senantiasa dibangun di atas reruntuhan hati
orang lain. Mereka sibuk mengukir “benar” di atas papan, tapi papan itu
ternyata adalah punggung seseorang yang sebenarnya tidak ingin ikut dalam permainan
ini.Dan begitulah, ketika dua egoisme menolak untuk sama-sama menunduk, selalu
ada orang yang dipaksa berlutut. Tidak selalu terlihat di permukaan, tidak
selalu terdengar di panggung debat, tapi rasa kecewanya bisa membentuk dinding
yang lebih tebal dari benteng pertahanan para petarung itu sendiri.
Di banyak ruang kehidupan—dari forum politik hingga serambi
pesantren—perbedaan pendapat adalah hal wajar. Tapi yang jarang kita sadari
adalah, perbedaan itu bisa berubah menjadi pertarungan ego ketika masing-masing
pihak terlalu sibuk mempertahankan “kebenarannya” sendiri. Dalam filosofi Jawa,
ada pepatah nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake—menyerang tanpa
pasukan, menang tanpa merendahkan. Tapi di zaman yang serba cepat ini, petuah
itu sering terdengar seperti hiasan di dinding, bukan panduan di hati. Ego
lebih sering menjadi tuan rumah, sementara kesabaran hanya tamu yang singgah
sebentar.
Seorang santri diajarkan andhap asor—rendah hati dan
menghormati siapapun, bahkan saat berbeda pendapat. Namun tradisi itu mudah
rapuh ketika ego sudah memegang kendali. Dalam banyak kisah wayang, tokoh yang
terlalu keras kepala sering kali berakhir kalah bukan karena musuhnya kuat,
tapi karena lupa mengukur diri. Sopo sing nandur bakal ngunduh—siapa
menanam, akan menuai. Dan yang sering menuai pahit justru bukan penanamnya,
melainkan orang di sekitarnya.
Korban dalam pertarungan semacam ini bukan mereka yang bersuara
lantang, melainkan yang terjebak di tengah. Ini adalah panggung belajar, yang
seharusnya dihiasi dengan kesadaran sama-sama belajar, mengendapkan ego,
menarik diri, duduk bersama, ngopi, bahkan bisa menjadi pemantik untuk saling
berbagi. Jika ego yang menjadi dasar utama untuk melindungi “kebenaran yang
sangat persepsional” — mek jarene dewe, menurutku, maka tidak ada
bedanya dengan kondisi berebut simpati dan rasa hormat.
Memang, ini menjadi sebuah dinamika sosial yang terjadi di
masyarakat luas. Dua tokoh desa berselisih soal tanah wakaf, dua kelompok
pemuda bersaing memperebutkan panggung acara, atau bahkan dua saudara yang
berseteru soal warisan. Lingkaran korbannya selalu sama, yaitu mereka yang
tidak ikut bicara, tapi ikut menderita. Ibarat gendheng nyandhang raga—badan
sehat tapi pikiran terbelenggu masalah yang bukan miliknya.
![]() |
Sumber Gambar: AberrantRealities/Pixabay |
Sebagai manusia, secara fitrah sejatinya memiliki modal budaya yang besar untuk menghindari situasi ini. Tradisi sowan kepada yang lebih tua, musyawarah mufakat, dan ajaran kesabaran adalah pilar yang bisa meredam ego. Namun, jika para pengampunya sendiri alpa mengamalkan, pilar itu rapuh. Ironisnya, rapuhnya bukan karena serangan dari luar, tapi karena retakan dari dalam.
Yang lebih menyedihkan, luka semacam ini jarang langsung terlihat.
Ia merayap pelan, mengendap di hati para saksi bisu, kekecewaan itu tidak
serta-merta muncul, tapi kepercayaan pada keteladanan akan luntur. Dan ketika
teladan memudar, yang tersisa hanyalah hafalan kosong—ilmu yang tahu batas
halal-haram, tapi tidak punya kemauan untuk menahan lidah atau merendahkan
hati.
Artinya, bukan kemenangan salah satu pihak yang penting, melainkan
keberanian untuk mengalah demi kebaikan bersama. Sebab, dalam tradisi luhur
kita, kemenangan sejati adalah saat kita mampu menjaga hati orang lain tetap
utuh—bahkan ketika kita sendiri harus menanggalkan ego.
Padahal, kemenangan sejati bukanlah ketika kita berhasil membungkam
siapapun. Kemenangan sejati adalah ketika kita mampu keluar dari perbedaan
dengan hati semua pihak tetap utuh, serta mampu mengalahkan diri sendiri untuk
senantiasa berpikir jernih. Sebab, dua ego yang menolak menunduk akan selalu
meninggalkan pihak yang dipaksa berlutut—dan sering kali, orang itu adalah
mereka yang seharusnya diayomi.[]
Komentar
Posting Komentar