Semua kisah itu berangkat dari konteks sejarah yang jauh dari kita. Mereka hidup di gurun, di istana, di jalan-jalan kota Baghdad atau Basra. Mereka menghadapi kekuasaan Umayyah, pertikaian politik, dan intrik para ulama istana. Hari ini, kita hidup di dunia yang lain; dunia algoritma, dunia pencitraan, dunia yang penuh suara bising.
Tapi justru di situlah tasawuf masih relevan. Tasawuf adalah seni menemukan Allah di dalam hati, apa pun situasi zamannya.
Hari ini, tidak banyak orang yang bisa memilih hidup asketis seperti Ibrahim ibn Adham, yang meninggalkan singgasana demi jalan zuhud, tidak nggumunan terhadap dunia dalam arti jabatan, harta dan berbagai peringkelannya. Kita terlanjur hidup dalam sistem yang menuntut gaji bulanan, cicilan rumah, kuota internet. Tapi bukan berarti kita tidak bisa jadi Sufi. Menjadi Sufi hari ini bukan soal meninggalkan dunia, melainkan tidak diperbudak oleh dunia.
Coba bayangkan saat Rabi’ah berdoa, “Kalau aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka!!!” Dalam bahasa zaman kita, mungkin doa itu berbunyi begini, “Ya Allah, jangan biarkan aku mencintai-Mu hanya demi ‘likes’, demi branding kesalehan, demi posisi politik. Ajari aku mencintai-Mu tanpa pamrih, bahkan jika dunia mencaci dan merendahkanku.”
Farida Khanam dalam bukunya menulis bahwa inti tasawuf adalah tazkiyah, pembersihan diri, dan ihsan—kesadaran bahwa Allah selalu hadir. Inilah pola dasar yang tidak berubah. Tapi bentuknya hari ini mungkin tidak berupa khalwat atau nyepi berbulan-bulan di pojok masjid dan pesinggahan makam-makam para suci.
Bisa jadi, khalwat itu adalah saat seorang ayah memutuskan mematikan HP-nya sebentar, lalu benar-benar menatap mata anaknya, mendengarkan celotehnya. Bisa jadi dzikir itu adalah kesadaran seorang mahasiswa yang memilih jujur, meski AI sudah bisa menulis esai untuknya. Bisa jadi suluk itu adalah perjalanan batin seorang pedagang yang tetap jujur, meski kompetitornya menipu harga.
Tasawuf mengajarkan kita agar tidak terjebak di kulit agama. Sufi tahu bahwa shalat bisa kosong dari Allah, dzikir bisa kosong dari Allah, bahkan puasa bisa kosong dari Allah, jika hati tidak jernih. Justru itulah penyakit terbesar manusia modern, banyak yang tampak religius, tapi hatinya tidak tenang. Banyak yang hafal teks agama, tapi lisannya penuh hujatan.
Sufisme hari ini menawarkan alternatif; kembalilah ke hati. Bersihkan cermin itu. Karena hati yang kotor hanya akan memantulkan bayangan diri sendiri, sementara hati yang bening akan memantulkan wajah Allah. Untuk sampai pada hati yang bening maka perlu sikap memaksa diri, memaksa untuk keluar dari kemrungsung, dan sesaknya pikir.
Khanam menulis bahwa Sufi selalu menolak kekerasan, dendam, dan kebencian. Itulah sebabnya Islam menyebar luas di India, Nusantara, dan Afrika bukan karena pedang, melainkan karena pelukan para Sufi. Di zaman ini, kita pun bisa belajar dari mereka, bahwa jangan jawab kebencian dengan kebencian, jangan balas cacian dengan cacian. Kalau dunia maya penuh racun, jadilah penawar. Kalau politik penuh kebohongan, jadilah saksi kebenaran.
Menjadi Sufi tidak berarti jadi malaikat. Sufi tetap manusia dengan lapar, marah, kecewa. Tapi bedanya, seorang Sufi tidak membiarkan nafsu menjadi tuan atas dirinya. Ia belajar menaruh Allah di atas segalanya.
Maka, pola tasawuf di zaman ini adalah pola keseharian. Ia tidak eksklusif untuk mursyid, untuk kiai, untuk ustadz, atau untuk siapa pun yang memakai jubah putih. Tasawuf bisa dijalani oleh siapa saja; bahkan sopir ojek daring yang menjaga hatinya agar tidak marah ketika ditipu penumpang, ibu rumah tangga yang sabar merawat anaknya dengan cinta, mahasiswa yang menolak mencontek karena sadar Allah selalu melihat, sampai petani yang lemah lembut merawat hasil tanamnya, walau harga jual kerap dipengaruhi oleh cukong dan para tengkulak.
Kalau dulu para Sufi berdzikir di ribuan sudut zawiyah, mungkin hari ini mereka akan berdzikir di dalam lalu lintas macet, di antara notifikasi pesan kerja, di tengah debat kusir media sosial. Bedanya hanya wadah, intinya tetap sama yaitu mengingat Allah setiap saat, senantiasa online dengan-Nya dalam kondisi apapun. Berat memang, tapi alangkah bersyukurnya kita karena masih diberi kesempatan untuk senantiasa belajar, fokusnya adalah belajar menziarahi diri, mengevaluasi diri, bukan bergantun pada berbagai persepsi-persepsi di luar diri.
Sedikit hikmah yang kerap kita dengar adalah, di akhir hayatnya, Al-Ghazali—ulama besar yang akhirnya menjadi Sufi—menemukan bahwa semua ilmu, semua logika, semua perdebatan panjang, tidak ada artinya jika tidak berbuah pada satu hal yaitu ketenangan hati yang yakin bahwa Allah bersama kita.
Dan mungkin itulah yang kita butuhkan hari ini. Di tengah ribuan informasi yang membuat kepala kita penuh, kita perlu ruang kosong di hati untuk mendengar suara Allah. Di tengah dunia yang sibuk menilai kita dari apa yang kita miliki, kita perlu menemukan nilai sejati di hadapan Allah.
Tasawuf hari ini bukanlah eskapisme. Ia adalah keberanian untuk tetap jernih di tengah keruh. Ia adalah kemampuan untuk tetap mencintai ketika dunia dipenuhi kebencian. Ia adalah kesetiaan pada Allah, meski seluruh dunia mengajarkan kita untuk setia pada uang, jabatan, dan pencitraan.
Sufisme, bukan jalan masa lalu. Ia adalah jalan yang terus hidup. Ia adalah jalan sunyi di tengah keramaian, jalan yang tidak perlu ramai-ramai, tapi bisa ditempuh siapa saja yang berani membersihkan hatinya dan menemukan Allah di dalam dirinya.[]

Komentar
Posting Komentar